“Wilayah Indonesia Timur yang menjadi target studi sangat tepat, karena selain kaya potensi arus laut, juga selama ini mengalami defisit infrastruktur energi,” ujar dia.
Tohom yang juga Mantan Ketua GOVA (Government Asset Watch) Sumatera Utara ini mengatakan bahwa langkah Kementerian ESDM harus dibarengi dengan transparansi dalam pelaksanaan dan pemilihan mitra proyek.
Baca Juga:
Punya Rasio Pelanggan 98,45 Persen, ALPERKLINAS Apresiasi PLN yang Survive Penuhi Kebutuhan Listrik Indonesia dengan Pendapatan Maksimal
Ia mengingatkan pentingnya partisipasi publik dalam pengawasan pembangunan agar proyek EBT benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat.
“Transparansi penting. Jangan sampai proyek EBT malah jadi oligopoli yang tidak berpihak pada rakyat. EBT harus menjawab dua hal sekaligus: keberlanjutan dan keadilan,” katanya.
Tohom juga menyarankan agar pemerintah mulai merancang peta jalan khusus untuk pembangkit laut dan membentuk konsorsium riset nasional yang melibatkan perguruan tinggi, LIPI, dan BUMN.
Baca Juga:
MARTABAT Prabowo-Gibran Dukung Percepatan Operasional Pelabuhan Patimban untuk Penguatan Kawasan Metropolitan Rebana
“Teknologi pembangkit laut ini masih relatif baru, maka harus didukung dengan ekosistem riset yang kuat agar kita tidak hanya mengimpor, tapi bisa memproduksi sendiri. Ini penting untuk kedaulatan energi ke depan,” tambahnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, menyampaikan bahwa pemerintah telah memulai studi potensi arus laut di wilayah Indonesia Timur.
Target awal sebesar 40 MW akan dicantumkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025–2034 dan ditargetkan mulai terealisasi sekitar tahun 2030.