KonsumenListrik.WAHANANEWS.CO - Rencana pemerintah membangun pembangkit listrik tenaga arus laut hingga 40 Mega Watt (MW) pada tahap awal hingga tahun 2034 mendapat apresiasi dari Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS).
Ketua Umum ALPERKLINAS, KRT Tohom Purba, menilai langkah ini sebagai bagian dari terobosan strategis dalam pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) nasional yang selama ini masih terlalu bergantung pada sumber konvensional.
Baca Juga:
Punya Rasio Pelanggan 98,45 Persen, ALPERKLINAS Apresiasi PLN yang Survive Penuhi Kebutuhan Listrik Indonesia dengan Pendapatan Maksimal
“Pemerintah sudah berada di jalur yang tepat. Energi arus laut adalah potensi tersembunyi yang jarang dilirik padahal sangat besar di negara kepulauan seperti Indonesia. Ini langkah berani, dan harus didukung semua pihak,” kata Tohom saat dimintai tanggapan, Minggu (20/7/2025).
Menurut Tohom, pemanfaatan energi arus laut sebagai pembangkit listrik bisa memberikan sejumlah keuntungan.
Selain tidak mengganggu keseimbangan daratan, teknologi ini juga stabil karena arus laut bersifat konstan dan tidak tergantung cuaca sebagaimana tenaga surya atau angin.
Baca Juga:
MARTABAT Prabowo-Gibran Dukung Percepatan Operasional Pelabuhan Patimban untuk Penguatan Kawasan Metropolitan Rebana
Ia juga menekankan bahwa transisi energi jangan hanya berorientasi pada target kuantitas, tetapi juga kualitas dan kemandirian teknologi.
"Kalau Indonesia hanya jadi pasar teknologi luar negeri, ini akan menimbulkan ketergantungan baru. Maka pembangunan pembangkit arus laut harus disertai dengan transfer teknologi dan pelibatan industri dalam negeri," tegasnya.
Tohom juga menyoroti pentingnya pemerataan proyek pembangkit EBT agar tidak hanya terkonsentrasi di wilayah tertentu.
“Wilayah Indonesia Timur yang menjadi target studi sangat tepat, karena selain kaya potensi arus laut, juga selama ini mengalami defisit infrastruktur energi,” ujar dia.
Tohom yang juga Mantan Ketua GOVA (Government Asset Watch) Sumatera Utara ini mengatakan bahwa langkah Kementerian ESDM harus dibarengi dengan transparansi dalam pelaksanaan dan pemilihan mitra proyek.
Ia mengingatkan pentingnya partisipasi publik dalam pengawasan pembangunan agar proyek EBT benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat.
“Transparansi penting. Jangan sampai proyek EBT malah jadi oligopoli yang tidak berpihak pada rakyat. EBT harus menjawab dua hal sekaligus: keberlanjutan dan keadilan,” katanya.
Tohom juga menyarankan agar pemerintah mulai merancang peta jalan khusus untuk pembangkit laut dan membentuk konsorsium riset nasional yang melibatkan perguruan tinggi, LIPI, dan BUMN.
“Teknologi pembangkit laut ini masih relatif baru, maka harus didukung dengan ekosistem riset yang kuat agar kita tidak hanya mengimpor, tapi bisa memproduksi sendiri. Ini penting untuk kedaulatan energi ke depan,” tambahnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, menyampaikan bahwa pemerintah telah memulai studi potensi arus laut di wilayah Indonesia Timur.
Target awal sebesar 40 MW akan dicantumkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025–2034 dan ditargetkan mulai terealisasi sekitar tahun 2030.
Dalam RUPTL tersebut, pemerintah menargetkan tambahan kapasitas pembangkit sebesar 69,5 GW, di mana 76% atau sekitar 42,6 GW berasal dari EBT, termasuk energi surya, air, panas bumi, angin, bioenergi, hingga nuklir.
Adapun sisanya berasal dari pembangkit berbasis fosil dan sistem penyimpanan energi seperti baterai dan pumped storage.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]