Selain itu, Tohom mendorong agar pemerintah memperkuat regulasi, memastikan pasokan biomassa stabil, dan memberikan insentif bagi daerah yang berkontribusi dalam penyediaan bahan bakar.
“Ke depan, Indonesia perlu mempercepat konsolidasi rantai pasok biomassa. Jangan sampai PLTU kesulitan bahan bakar karena suplai tidak rapi. Jika pasokan biomassa stabil, maka program dekarbonisasi berjalan konsisten danIndonesia bisa menurunkan emisi secara signifikan tanpa mengganggu keandalan listrik,” ujarnya.
Baca Juga:
Percepat Realisasi Energi Terbarukan di Indonesia, ALPERKLINAS: Segera Bangun Jaringan Transmisi
Tohom menambahkan bahwa konsumen listrik patut mendapatkan informasi jelas mengenai bagaimana kebijakan-kebijakan seperti co-firing berkontribusi pada pengembangan energi bersih.
“Transisi energi tidak boleh elitis. Konsumen harus tahu bahwa setiap kilowatt listrik yang mereka gunakan kini lebih hijau dari sebelumnya. Dan bahwa PLN Indonesia Power berada di garis depan perubahan ini,” tegas Tohom.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat penerapan profiling biomassa pada PLTU terus meningkat sejak 2020 sebagai bagian dari upaya dekarbonisasi.
Baca Juga:
Indonesia Menuju Green Energi, ALPERKLINAS Minta Pemerintah Longgarkan Kuota Pemasangan PLTS
Pada 2020 hanya ada enam PLTU yang menerapkan teknologi itu, dan hingga Oktober 2025 jumlahnya melonjak menjadi 47 pembangkit yang memanfaatkan limbah kelapa dan sawit.
Volume biomassa yang digunakan mencapai 1,8 juta ton dengan produksi listrik 1,78 juta MWh. Rasio pemanfaatan biomassa terhadap batu bara pada unit yang telah menerapkan profiling mencapai 3,36%.
ESDM menilai percepatan co-firing biomassa menjadi langkah penting di tengah dominasi batu bara yang masih menyumbang 66,54% produksi listrik nasional pada 2025.