KonsumenListrik.WAHANANEWS.CO – Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS) menyampaikan apresiasi kuat kepada PLN Indonesia Power atas langkah strategis yang mewajibkan 47 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menerapkan campuran bahan bakar biomassa dari limbah sawit.
Kebijakan itu dinilai sebagai terobosan penting yang bukan hanya mendorong dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan, tetapi juga mempertegas komitmen nasional menuju bauran energi bersih secara bertahap dan terukur.
Baca Juga:
Percepat Realisasi Energi Terbarukan di Indonesia, ALPERKLINAS: Segera Bangun Jaringan Transmisi
Ketua Umum ALPERKLINAS, KRT Tohom Purba, menilai kebijakan co-firing biomassa bisa menciptakan ekosistem baru yang menguntungkan konsumen listrik, negara, dan industri energi.
“Langkah PLN Indonesia Power ini menegaskan bahwa transformasi energi tidak harus menunggu pembangunan EBT baru. Kita bisa memanfaatkan residu sawit sebagai energi bersih yang cepat, murah, dan stabil. Konsumen juga akan menikmati manfaatnya karena ketahanan energi makin kuat dan potensi biaya pembangkit dapat ditekan dalam jangka panjang,” kata Tohom, Minggu (23/11/2025).
Menurutnya, 47 PLTU yang kini menerapkan profiling biomassa menunjukkan lompatan besar dibanding awal implementasi pada 2020.
Baca Juga:
Indonesia Menuju Green Energi, ALPERKLINAS Minta Pemerintah Longgarkan Kuota Pemasangan PLTS
“Dari hanya 6 PLTU kini menjadi 47 unit, ini bukan perkembangan biasa. Ini bukti bahwa Indonesia mampu bergerak cepat ketika regulasi kuat dan operatornya berkomitmen. PLN Indonesia Power menunjukkan standar baru yang harus diikuti seluruh sektor ketenagalistrikan,” ujar Tohom.
Tohom juga mengungkapkan bahwa pemanfaatan limbah sawit sebagai substitusi sebagian batu bara tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga menciptakan nilai ekonomi baru di daerah penghasil sawit.
“Limbah sawit yang dulu dianggap tidak bernilai kini menjadi energi. Ini akan membuka peluang bagi UMKM biomassa, meningkatkan pendapatan petani, sekaligus mengurangi emisi dari sektor pembangkit. Ini tiga manfaat langsung dalam satu kebijakan,” jelasnya.
Selain itu, Tohom mendorong agar pemerintah memperkuat regulasi, memastikan pasokan biomassa stabil, dan memberikan insentif bagi daerah yang berkontribusi dalam penyediaan bahan bakar.
“Ke depan, Indonesia perlu mempercepat konsolidasi rantai pasok biomassa. Jangan sampai PLTU kesulitan bahan bakar karena suplai tidak rapi. Jika pasokan biomassa stabil, maka program dekarbonisasi berjalan konsisten danIndonesia bisa menurunkan emisi secara signifikan tanpa mengganggu keandalan listrik,” ujarnya.
Tohom menambahkan bahwa konsumen listrik patut mendapatkan informasi jelas mengenai bagaimana kebijakan-kebijakan seperti co-firing berkontribusi pada pengembangan energi bersih.
“Transisi energi tidak boleh elitis. Konsumen harus tahu bahwa setiap kilowatt listrik yang mereka gunakan kini lebih hijau dari sebelumnya. Dan bahwa PLN Indonesia Power berada di garis depan perubahan ini,” tegas Tohom.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat penerapan profiling biomassa pada PLTU terus meningkat sejak 2020 sebagai bagian dari upaya dekarbonisasi.
Pada 2020 hanya ada enam PLTU yang menerapkan teknologi itu, dan hingga Oktober 2025 jumlahnya melonjak menjadi 47 pembangkit yang memanfaatkan limbah kelapa dan sawit.
Volume biomassa yang digunakan mencapai 1,8 juta ton dengan produksi listrik 1,78 juta MWh. Rasio pemanfaatan biomassa terhadap batu bara pada unit yang telah menerapkan profiling mencapai 3,36%.
ESDM menilai percepatan co-firing biomassa menjadi langkah penting di tengah dominasi batu bara yang masih menyumbang 66,54% produksi listrik nasional pada 2025.
[Redaktur: Mega Puspita]