Ia juga mengingatkan bahwa setiap proyek energi, terutama yang menyangkut perubahan besar seperti penggantian diesel, harus menjamin transparansi dan akuntabilitas, agar kepercayaan publik tidak hilang di tengah jalan.
Tohom yang juga salah satu pendiri Perkumpulan Perlindungan Konsumen Nasional ini menambahkan bahwa penguatan ekosistem panas bumi harus disertai dengan penguatan kelembagaan pengawasan di daerah.
Baca Juga:
Pada COP29, PLN Paparkan Strategi Dorong Pertumbuhan Ekonomi melalui Swasembada Energi Berkelanjutan
“Kalau kita ingin proyek ini berjalan lancar, maka pengawasan independen, keterbukaan informasi, dan manfaat nyata untuk warga lokal harus dijadikan tolok ukur utama,” ungkapnya.
Ia optimis bahwa bila pendekatannya dilakukan secara kolaboratif, Flores bisa menjadi model sukses pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas.
“Indonesia bisa belajar dari Flores. Bukan hanya mengalirkan listrik dari perut bumi, tapi juga membangun kepercayaan dari dasar nurani,” pungkas Tohom.
Baca Juga:
Pertama di Indonesia, PLN Operasikan Stasiun Pengisian Hidrogen untuk Kendaraan
Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, menyampaikan bahwa proyek panas bumi di Flores merupakan langkah mendesak untuk mengurangi beban subsidi bahan bakar minyak yang mencapai Rp1 triliun per tahun hanya untuk wilayah itu saja.
Ia juga mengakui adanya protes masyarakat dan menyatakan bahwa komunikasi terus dilakukan dengan Gubernur NTT, Keuskupan Ende, dan sejumlah perusahaan pengembang panas bumi.
Pemerintah berharap penolakan dapat diredam melalui pendekatan dialogis, dengan kunjungan lapangan yang direncanakan oleh jajaran Kementerian ESDM dalam waktu dekat.