KonsumenListrik.WAHANANEWS.CO, Jakarta - Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS) menyambut baik langkah progresif Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menetapkan Flores, Nusa Tenggara Timur, sebagai Geothermal Island atau Pulau Panas Bumi.
Inisiatif ini dinilai sebagai solusi strategis dalam mengatasi tingginya beban subsidi bahan bakar diesel sekaligus langkah nyata menuju kemandirian energi berbasis sumber daya terbarukan.
Baca Juga:
Pada COP29, PLN Paparkan Strategi Dorong Pertumbuhan Ekonomi melalui Swasembada Energi Berkelanjutan
Ketua Umum ALPERKLINAS, KRT Tohom Purba, menilai bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari transformasi energi nasional yang sudah saatnya dipercepat, apalagi jika dilihat dari aspek efisiensi biaya dan keberlanjutan lingkungan.
“Langkah ini patut diapresiasi. Selain menyasar penghematan anggaran subsidi, sekaligus memuliakan anugerah potensi alam Indonesia yang selama ini kurang dimanfaatkan secara maksimal,” ungkap Tohom, Kamis (24/4/2025).
Menurutnya, panas bumi di Flores merupakan potensi peradaban energi nasional.
Baca Juga:
Pertama di Indonesia, PLN Operasikan Stasiun Pengisian Hidrogen untuk Kendaraan
“Panas bumi adalah harta karun energi yang tidak hanya ramah lingkungan, tapi juga menciptakan peluang ekonomi lokal jika dikelola dengan prinsip keadilan,” katanya.
Namun, Tohom menekankan pentingnya komunikasi intensif dengan masyarakat lokal, termasuk tokoh agama dan adat, agar proyek-proyek panas bumi tidak menimbulkan resistensi sosial.
“Dalam konteks perlindungan konsumen energi, masyarakat harus diberi ruang untuk memahami, mengawasi, dan ikut terlibat dalam proyek ini. Partisipasi publik adalah kunci keberhasilan program ini,” ujar Tohom.
Ia juga mengingatkan bahwa setiap proyek energi, terutama yang menyangkut perubahan besar seperti penggantian diesel, harus menjamin transparansi dan akuntabilitas, agar kepercayaan publik tidak hilang di tengah jalan.
Tohom yang juga salah satu pendiri Perkumpulan Perlindungan Konsumen Nasional ini menambahkan bahwa penguatan ekosistem panas bumi harus disertai dengan penguatan kelembagaan pengawasan di daerah.
“Kalau kita ingin proyek ini berjalan lancar, maka pengawasan independen, keterbukaan informasi, dan manfaat nyata untuk warga lokal harus dijadikan tolok ukur utama,” ungkapnya.
Ia optimis bahwa bila pendekatannya dilakukan secara kolaboratif, Flores bisa menjadi model sukses pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas.
“Indonesia bisa belajar dari Flores. Bukan hanya mengalirkan listrik dari perut bumi, tapi juga membangun kepercayaan dari dasar nurani,” pungkas Tohom.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, menyampaikan bahwa proyek panas bumi di Flores merupakan langkah mendesak untuk mengurangi beban subsidi bahan bakar minyak yang mencapai Rp1 triliun per tahun hanya untuk wilayah itu saja.
Ia juga mengakui adanya protes masyarakat dan menyatakan bahwa komunikasi terus dilakukan dengan Gubernur NTT, Keuskupan Ende, dan sejumlah perusahaan pengembang panas bumi.
Pemerintah berharap penolakan dapat diredam melalui pendekatan dialogis, dengan kunjungan lapangan yang direncanakan oleh jajaran Kementerian ESDM dalam waktu dekat.
[Redaktur: Mega Puspita]