Ketergantungan warga pada genset dengan biaya operasional tinggi, kata dia, selama ini menjadi beban ekonomi yang menekan produktivitas masyarakat pesisir.
Lebih jauh, Tohom menekankan pentingnya peran koperasi sebagai pengelola listrik. Ia menyebut koperasi sebagai instrumen demokratis yang memungkinkan pengawasan kolektif, transparansi pengelolaan, serta distribusi manfaat yang lebih adil bagi anggota.
Baca Juga:
Dari Lampu Rumah ke Energi Surya: Transisi Energi Dimulai dari Desa
“Ketika listrik dikelola koperasi, konsumen tidak lagi berada di posisi lemah. Mereka adalah pemilik sekaligus pengguna, sehingga perlindungan konsumen berjalan secara struktural,” katanya.
Menurut Tohom, pemanfaatan listrik PLTS untuk mendukung aktivitas ekonomi produktif seperti perikanan tangkap, budidaya, cold storage, dan ice maker merupakan lompatan besar dalam membangun ekosistem ekonomi desa.
Listrik tidak berhenti sebagai penerangan rumah, tetapi menjadi pengungkit nilai tambah dan peningkatan pendapatan masyarakat.
Baca Juga:
Listrik Desa Berbasis Koperasi, Model Energi Mandiri Wilayah 3T
Ia juga mendorong pemerintah daerah di berbagai wilayah 3T untuk meniru dan mereplikasi model Pulau Sembur.
Kolaborasi antara kementerian teknis, BUMN energi, dan koperasi lokal dinilai sebagai formula ideal untuk mempercepat kemandirian energi desa sekaligus mendukung agenda transisi energi nasional.
“Ini model yang visioner. Jika direplikasi secara konsisten, PLTS koperasi bisa menjadi tulang punggung transisi energi dari bawah, berbasis komunitas, dan berkontribusi langsung pada target Net Zero Emission 2060,” kata Tohom.