KonsumenListrik.WAHANANEWS.CO – Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS) menilai langkah pemerintah mempercepat realisasi energi terbarukan harus dimulai dari pembangunan jaringan transmisi listrik secara masif.
Aliansi menegaskan, tanpa tersambungnya transmisi dari sumber energi—terutama panas bumi—ke jaringan nasional, seluruh target EBT hanya akan menjadi slogan tanpa dampak nyata bagi konsumen maupun investor.
Baca Juga:
Surat Edaran ESDM Soal BBM Dinilai Tak Adil: Sah Administratif, Lemah Substantif
Ketua Umum ALPERKLINAS, KRT Tohom Purba, menegaskan bahwa pembangunan transmisi adalah “tulang punggung” dari seluruh transformasi energi.
Ia melihat persoalan ini bukan sekadar teknis, tetapi menyangkut kepastian usaha, perlindungan konsumen, dan kredibilitas negara dalam menjamin layanan listrik yang andal.
Menurut Tohom, keluhan investor mengenai terhambatnya pemanfaatan energi panas bumi adalah bukti bahwa perencanaan infrastruktur listrik nasional masih belum terintegrasi sepenuhnya.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Dorong Perusahaan Mitra PLN Beri CSR ke Masyarakat dalam Bentuk Bantuan Kelistrikan
“Jika sumber energi ada tetapi tidak ada jaringan untuk menyalurkannya, maka itu menunjukkan disconnect antara potensi dan realisasi. Konsumen pada akhirnya yang merasakan akibatnya, baik dari sisi tarif, suplai, maupun kecepatan program transisi energi,” ujarnya, Jumat (13/11/2025).
Tohom menambahkan, percepatan pembangunan transmisi harus diposisikan sebagai program strategis lintas sektor, bukan hanya tanggung jawab PLN.
“Kita berbicara tentang 27.000 MW potensi panas bumi di Indonesia, tetapi baru 10 persen yang dimanfaatkan. Ini bukan karena teknologinya tidak ada, tetapi karena jalur untuk mengalirkan energinya tidak tersedia. Maka solusi paling logis adalah: bangun jaringan transmisi sebelum bicara target produksi,” katanya.
Ia juga menilai langkah pemerintah memasukkan pembangunan transmisi baru dalam RUPTL 2025–2035 sepanjang 48.000 kilometer sirkuit sebagai keputusan tepat, namun perlu percepatan eksekusi.
“RUPTL itu roadmap yang baik, tetapi harus segera turun menjadi kontrak, pembangunan, dan penyelesaian proyek di lapangan. Konsumen menunggu listrik bersih yang andal dan terjangkau, bukan sekadar rencana panjang di atas kertas,” tegas Tohom.
Lebih jauh, Tohom menekankan bahwa kehadiran infrastruktur transmisi akan meningkatkan minat investor karena memberikan kepastian bahwa listrik yang mereka hasilkan dapat langsung diserap PLN atau industri.
“Energi terbarukan tidak hanya bicara lingkungan, tapi ekonomi. Jika investor yakin listriknya terserap, ekosistem EBT akan bergerak, tarif dapat lebih kompetitif, dan konsumen menikmati dampak akhirnya,” jelasnya.
Ia pun mengapresiasi komitmen pemerintah yang selaras dengan arahan Presiden Prabowo Subianto, namun mengingatkan bahwa keberhasilan transisi energi ditentukan oleh kemampuan negara menutup ‘bottle neck’ infrastruktur.
“Transmisi adalah kunci. Jika itu dibangun, maka percepatan EBT bukan mimpi lagi, tetapi realitas yang dapat dirasakan seluruh masyarakat,” tutup Tohom.
[Redaktur: Mega Puspita]