"Kita sering menemukan rumah warga berdiri hanya beberapa meter dari tiang listrik bertegangan tinggi. Ketidaktahuan mereka bisa menjadi ancaman laten bagi kesehatan jangka panjang. Ini bukan sekadar soal kompensasi, tapi soal keselamatan nyawa," tegasnya.
Menurut Tohom, ketidakmerataan informasi mengenai risiko elektromagnetik ini disebabkan lemahnya kolaborasi antara pemerintah pusat, PLN, dan pemerintah daerah.
Baca Juga:
Pasok Listrik untuk 2 Juta Pelanggan dengan Energi Bersih Tenaga Panas Bumi, ALPERKLINAS Apresiasi Kesiapan Pertamina Geothermal
Ia menekankan bahwa persoalan ini tidak bisa diserahkan hanya kepada satu pihak.
"Harus ada roadmap komunikasi publik. Tidak cukup hanya memasang plang peringatan atau memuat aturan dalam jurnal. Pendekatannya harus komunikatif dan menjangkau hingga level RT," tandasnya.
Tohom yang juga tercatat sebagai Pelaksana Kredit Listrik Pedesaan (KLP) pada era 1990-an, mengingatkan pentingnya sejarah elektrifikasi nasional yang semestinya beriringan dengan pemahaman risiko.
Baca Juga:
Kritisi Bangunan Ilegal Dapat Akses Listrik, ALPERKLINAS Desak Pemerintah dan PLN Buat Aturan Tegas Terkait Syarat Calon Pelanggan Listrik
Saat itu, program KLP digulirkan untuk memperluas akses listrik ke desa-desa, namun kini tantangannya berbeda, yakni memastikan masyarakat terlindungi dari potensi bahaya akibat kedekatan fisik dengan jaringan tegangan tinggi.
"Kami dulu fokus menyambung listrik ke pelosok desa. Sekarang, sudah saatnya kita melindungi masyarakat yang sudah berlistrik dari dampak tak terlihat, seperti paparan medan elektromagnetik. Jangan sampai program elektrifikasi masa lalu berubah menjadi bumerang karena abai terhadap keselamatan," ucap Tohom dengan nada prihatin.
Ia mengusulkan agar PLN dan kementerian ESDM menggandeng lembaga konsumen dan kelompok masyarakat sipil dalam menyusun modul edukasi jarak aman.