KonsumenListrik.WAHANANEWS.CO, Jakarta – Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS) mendesak pemerintah dan PLN agar memperkuat sosialisasi mengenai jarak aman antara jaringan listrik tegangan tinggi, khususnya SUTET (Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi), dengan permukiman warga.
Langkah ini dinilai mendesak demi mencegah risiko kesehatan dan keselamatan masyarakat yang tinggal terlalu dekat dengan infrastruktur kelistrikan.
Baca Juga:
Pasok Listrik untuk 2 Juta Pelanggan dengan Energi Bersih Tenaga Panas Bumi, ALPERKLINAS Apresiasi Kesiapan Pertamina Geothermal
Ketua Umum ALPERKLINAS, KRT Tohom Purba, menegaskan bahwa meskipun pemerintah telah menerbitkan regulasi mengenai ruang bebas minimum di sekitar jaringan transmisi listrik, namun implementasi dan pemahaman masyarakat terhadap aturan tersebut masih sangat minim.
"Kami minta PLN dan kementerian terkait tidak hanya mengatur, tetapi juga aktif mengedukasi. Tidak semua warga paham bahwa tinggal terlalu dekat dengan SUTET bisa menimbulkan gangguan kesehatan serius, bahkan membahayakan nyawa," ujar Tohom Selasa (8/7/2025).
Tohom merujuk pada hasil penelitian yang menyebutkan bahwa medan elektromagnetik dari SUTET 500 kV berpotensi memicu hipersensitivitas elektromagnetik yang gejalanya bisa berupa pusing, gangguan tidur, detak jantung tak beraturan, hingga depresi.
Baca Juga:
Kritisi Bangunan Ilegal Dapat Akses Listrik, ALPERKLINAS Desak Pemerintah dan PLN Buat Aturan Tegas Terkait Syarat Calon Pelanggan Listrik
Oleh karena itu, menurutnya, informasi mengenai jarak aman semestinya menjadi pengetahuan publik yang wajib disosialisasikan secara berkala.
Ia juga menyoroti Peraturan Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2021 yang telah menetapkan ruang bebas minimum berdasarkan jenis dan kapasitas jaringan.
Namun, dalam praktiknya, banyak warga, terutama di daerah pinggiran dan pedesaan, yang tidak mendapat informasi yang memadai.
"Kita sering menemukan rumah warga berdiri hanya beberapa meter dari tiang listrik bertegangan tinggi. Ketidaktahuan mereka bisa menjadi ancaman laten bagi kesehatan jangka panjang. Ini bukan sekadar soal kompensasi, tapi soal keselamatan nyawa," tegasnya.
Menurut Tohom, ketidakmerataan informasi mengenai risiko elektromagnetik ini disebabkan lemahnya kolaborasi antara pemerintah pusat, PLN, dan pemerintah daerah.
Ia menekankan bahwa persoalan ini tidak bisa diserahkan hanya kepada satu pihak.
"Harus ada roadmap komunikasi publik. Tidak cukup hanya memasang plang peringatan atau memuat aturan dalam jurnal. Pendekatannya harus komunikatif dan menjangkau hingga level RT," tandasnya.
Tohom yang juga tercatat sebagai Pelaksana Kredit Listrik Pedesaan (KLP) pada era 1990-an, mengingatkan pentingnya sejarah elektrifikasi nasional yang semestinya beriringan dengan pemahaman risiko.
Saat itu, program KLP digulirkan untuk memperluas akses listrik ke desa-desa, namun kini tantangannya berbeda, yakni memastikan masyarakat terlindungi dari potensi bahaya akibat kedekatan fisik dengan jaringan tegangan tinggi.
"Kami dulu fokus menyambung listrik ke pelosok desa. Sekarang, sudah saatnya kita melindungi masyarakat yang sudah berlistrik dari dampak tak terlihat, seperti paparan medan elektromagnetik. Jangan sampai program elektrifikasi masa lalu berubah menjadi bumerang karena abai terhadap keselamatan," ucap Tohom dengan nada prihatin.
Ia mengusulkan agar PLN dan kementerian ESDM menggandeng lembaga konsumen dan kelompok masyarakat sipil dalam menyusun modul edukasi jarak aman.
Edukasi bisa dilakukan melalui posyandu, sekolah, forum warga, hingga media sosial.
"Edukasi yang baik akan membentuk budaya sadar risiko. Ini bukan sekadar proyek teknis, melainkan bagian dari perlindungan konsumen energi di masa depan," kata Tohom, menutup pernyataannya.
Sebelumnya, sejumlah ahli dan aktivis lingkungan juga telah menyuarakan pentingnya pengawasan terhadap keberadaan rumah warga di sekitar jaringan listrik tegangan tinggi.
Mereka menilai bahwa selain memperketat izin pembangunan, negara perlu menjamin ketersediaan data spasial yang akurat agar masyarakat bisa mengambil keputusan berbasis risiko sebelum membangun rumah atau membeli lahan di dekat jaringan SUTET.
[Redaktur: Mega Puspita]