“Bayangkan, jika potensi tambahan energi terbarukan 21 GW dalam RUPTL benar-benar diwujudkan, maka akan ada gelombang pekerjaan baru, transfer teknologi, dan kontribusi besar terhadap pengurangan emisi karbon,” ucapnya.
“Tapi sekali lagi, itu semua hanya mungkin terjadi bila regulasinya diperbaiki dan dieksekusi secara konsisten,” sambungnya.
Baca Juga:
MARTABAT Prabowo-Gibran Dukung Instruksi Presiden: IKN Harus Selesai dalam 3 Tahun
Tohom yang juga merupakan salah satu Pendiri Perkumpulan Perlindungan Konsumen Nasional (PPKN) ini menyoroti pentingnya keterlibatan masyarakat dalam diskursus kebijakan energi.
Menurutnya, perlindungan konsumen tidak hanya menyangkut harga listrik, tetapi juga menyangkut sumber energinya, keberlanjutannya, dan dampaknya terhadap lingkungan hidup.
“Konsumen berhak tahu dari mana listrik mereka berasal. Apakah itu dari batu bara yang merusak lingkungan, atau dari energi matahari dan angin yang ramah lingkungan? Kepastian ini penting, dan negara harus berdiri di tengah untuk menjamin hak informasi ini,” tegasnya.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Dukung PLN EPI Kurangi Pemakaian 3 Persen Batubara dengan Target 3 Juta Ton Biomassa Tahun 2025
Ia juga menyarankan agar pemerintah segera menetapkan target eksplisit bauran energi terbarukan dalam setiap instrumen kebijakan nasional. “Tanpa target kuantitatif yang jelas, transisi energi akan berjalan lambat dan sporadis,” ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Program Asia Clean Energy Coalition (ACEC), Suji Kang, mengungkapkan bahwa Indonesia berpotensi memperoleh manfaat ekonomi hingga US$ 1,8 miliar jika kebijakan energi terbarukan diperbaiki.
Menurut laporan ACEC bertajuk Asia's Clean Energy Breakthrough, kekurangan pasokan energi bersih di kawasan Asia-Pasifik tidak sebanding dengan meningkatnya permintaan dari perusahaan global yang ingin beralih ke energi hijau.