KonsumenListrik.WAHANANEWS.CO, Jakarta - Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS) meyakini bahwa keberhasilan transisi energi di Indonesia sangat bergantung pada keberanian pemerintah mempercepat reformasi regulasi dan memberikan kepastian hukum bagi pelaku industri.
Langkah tersebut dinilai akan membuka jalan bagi investasi masif dan pemanfaatan optimal potensi energi terbarukan yang tersebar luas di berbagai wilayah Indonesia.
Baca Juga:
MARTABAT Prabowo-Gibran Apresiasi Investasi Rp 358 Triliun untuk Sektor Ekonomi Hijau di Kawasan Ekonomi Batam, Bintan dan Tanjung Pinang
“Energi terbarukan tidak cukup hanya dijadikan jargon kebijakan. Harus ada reformasi nyata, terutama dalam aspek regulasi yang menyangkut tata kelola, investasi, dan kepastian mekanisme pembelian listrik oleh perusahaan swasta,” ujar Ketua Umum ALPERKLINAS, KRT Tohom Purba, Rabu (12/6/2025).
Tohom melihat bahwa selama ini regulasi cenderung tidak sinkron dengan semangat percepatan transisi energi.
Ketidaktegasan dalam membuka skema power wheeling (pemanfaatan jaringan transmisi secara bersama) maupun keterbatasan penerapan skema pembelian energi seperti Corporate Purchase Power Agreement (CPPA), membuat investor berpikir dua kali untuk masuk.
Baca Juga:
Sebagian Besar Kawasan Otorita Danau Toba Penghasil Kemenyan Terbesar di RI, MARTABAT Prabowo-Gibran Dukung Luhut Pandjaitan Dorong Hilirisasi
“Kalau kita ingin menarik investor hijau dari luar, seperti perusahaan-perusahaan anggota RE100 yang membutuhkan pasokan listrik bersih untuk operasi mereka, maka pemerintah harus menyiapkan payung hukum yang jelas. Jangan sampai niat baik gagal karena aturan tidak pasti,” tegasnya.
Ia menambahkan, peluang ekonomi yang ditawarkan pengembangan energi bersih sangat besar.
Selain nilai ekonomi langsung, sektor ini juga berpotensi menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, hingga memperkuat kemandirian energi nasional.
“Bayangkan, jika potensi tambahan energi terbarukan 21 GW dalam RUPTL benar-benar diwujudkan, maka akan ada gelombang pekerjaan baru, transfer teknologi, dan kontribusi besar terhadap pengurangan emisi karbon,” ucapnya.
“Tapi sekali lagi, itu semua hanya mungkin terjadi bila regulasinya diperbaiki dan dieksekusi secara konsisten,” sambungnya.
Tohom yang juga merupakan salah satu Pendiri Perkumpulan Perlindungan Konsumen Nasional (PPKN) ini menyoroti pentingnya keterlibatan masyarakat dalam diskursus kebijakan energi.
Menurutnya, perlindungan konsumen tidak hanya menyangkut harga listrik, tetapi juga menyangkut sumber energinya, keberlanjutannya, dan dampaknya terhadap lingkungan hidup.
“Konsumen berhak tahu dari mana listrik mereka berasal. Apakah itu dari batu bara yang merusak lingkungan, atau dari energi matahari dan angin yang ramah lingkungan? Kepastian ini penting, dan negara harus berdiri di tengah untuk menjamin hak informasi ini,” tegasnya.
Ia juga menyarankan agar pemerintah segera menetapkan target eksplisit bauran energi terbarukan dalam setiap instrumen kebijakan nasional. “Tanpa target kuantitatif yang jelas, transisi energi akan berjalan lambat dan sporadis,” ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Program Asia Clean Energy Coalition (ACEC), Suji Kang, mengungkapkan bahwa Indonesia berpotensi memperoleh manfaat ekonomi hingga US$ 1,8 miliar jika kebijakan energi terbarukan diperbaiki.
Menurut laporan ACEC bertajuk Asia's Clean Energy Breakthrough, kekurangan pasokan energi bersih di kawasan Asia-Pasifik tidak sebanding dengan meningkatnya permintaan dari perusahaan global yang ingin beralih ke energi hijau.
“Indonesia memiliki potensi luar biasa, khususnya di sektor energi surya dan angin. Namun saat ini, 81% pasokan listrik masih bersumber dari energi fosil,” ungkap Suji Kang.
Ia menyebut bahwa dengan meningkatkan bauran energi terbarukan menjadi 29% pada tahun 2030, Indonesia berpotensi menciptakan hampir 140 ribu lapangan kerja baru dan mengurangi emisi karbon hingga 25 juta ton CO2.
ACEC mendorong agar pemerintah Indonesia segera mempercepat implementasi power wheeling, membuka opsi CPPA, dan memperjelas kepemilikan Renewable Energy Certificate (REC) antara PLN dan IPP.
[Redaktur: Mega Puspita]