“Masyarakat desa jangan hanya menjadi objek pembangunan, tetapi harus diperlakukan sebagai konsumen yang memiliki hak atas pelayanan listrik yang adil, terjangkau, dan berkualitas. Itulah yang akan menentukan apakah program Lisdes bisa disebut berhasil atau tidak,” tegas Tohom.
Lebih jauh, Tohom yang juga Mantan Ketua Badan Pembina Perkumpulan Konsuil dan Pendiri Komunitas Peduli Ketenagalistrikan Indonesia (Kopeklin) menilai, program ini sekaligus menjadi momentum untuk memperluas pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT).
Baca Juga:
ALPERKLINAS Imbau Masyarakat Lebih Melek Prosedur Pemindahan Tiang Listrik
Menurutnya, pembangunan PLTS perdesaan dan pemanfaatan energi lokal akan menjadi jawaban atas tantangan elektrifikasi di wilayah 3T yang kondisi geografisnya rumit.
“Kalau ini konsisten dijalankan, Lisdes akan memberikan dua manfaat sekaligus: akses energi yang lebih merata dan kontribusi nyata pada pengurangan emisi karbon,” tambahnya.
Tohom juga mengingatkan, keberhasilan program ini harus dilihat dari dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat desa.
Baca Juga:
Listrik Bersih Jadi Daya Tarik Buat Investor Asing, ALPERKLINAS Minta Dukungan Semua Pihak
“Jika setelah ada listrik, sekolah bisa beroperasi lebih lama, puskesmas punya peralatan yang lebih baik, dan UMKM desa lebih produktif, maka itu adalah tanda bahwa program ini sukses. Dengan kata lain, keberhasilan Lisdes bukan hanya terletak pada jumlah sambungan, tapi pada kualitas hidup yang meningkat,” tuturnya.
Sebelumnya, Wakil Menteri ESDM Yuliot menegaskan bahwa program Lisdes 2025–2029 adalah wujud kehadiran negara dalam menjamin pemerataan akses energi.
Ia menyebutkan, tambahan sambungan listrik ini tidak hanya memberikan manfaat sosial, tetapi juga menggerakkan ekonomi lokal dan memperluas pemanfaatan energi terbarukan yang ramah lingkungan.