KonsumenListrik.WAHANANEWS.CO - Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS) menyoroti fenomena meningkatnya suhu bumi yang kini menjadi isu global, namun di saat yang sama konsumsi batu bara sebagai sumber energi listrik justru masih mendominasi sistem tenaga listrik dunia.
Menurut organisasi ini, meski banyak negara mengkampanyekan transisi energi bersih, realitas di lapangan menunjukkan bahwa batu bara belum tergeser dari posisi puncak sebagai bahan bakar pembangkit listrik terbesar di dunia.
Baca Juga:
Dinilai Lebih Kompeten, ALPERKLINAS Dukung Pemerintah yang Percayakan Pengolahan Sampah Jadi Energi Listrik ke PLN
Ketua Umum ALPERKLINAS, KRT Tohom Purba, menyatakan bahwa konsumsi listrik global masih sangat bergantung pada energi fosil berbasis batu bara karena faktor ketersediaan, biaya produksi yang murah, dan infrastruktur yang telah terlanjur dibangun secara masif dalam kurun waktu puluhan tahun.
“Sebagian besar pembangkit listrik di Asia, Eropa Timur, dan bahkan Amerika Serikat masih mengandalkan batu bara. Transisi energi memang digaungkan, namun realitas teknis dan ekonomi membuat batu bara belum bisa digantikan sepenuhnya,” ujarnya.
Tohom menambahkan bahwa produsen batu bara terbesar dunia saat ini didominasi oleh perusahaan-perusahaan dari Asia seperti Coal India Ltd., China Shenhua, Yankuang Energy, hingga China Coal Energy.
Baca Juga:
Ikut Partisipasi Kurangi Emisi Karbon, ALPERKLINAS Apresiasi Langkah Wings Group Pasang PLTS Atap di 8 Pabriknya
“Data produksi tahun 2024 mencatat Coal India Ltd. menembus angka fantastis 773,8 juta ton. Ini bukan hanya angka bisnis, tetapi gambaran betapa dominannya batu bara terhadap sistem energi global,” tegasnya.
Menurutnya, kondisi ini menjadi ironi ketika isu pemanasan global, kenaikan suhu bumi, dan target pengurangan emisi karbon terus dikampanyekan, tetapi penggunaan batu bara tetap menjadi tulang punggung listrik dunia.
“Transisi energi itu perlu, tapi jangan sampai membebani konsumen listrik. Energi bersih tidak boleh hanya menjadi jargon yang berujung pada kenaikan tarif listrik di tingkat rumah tangga,” jelas Tohom Purba.
Indonesia, kata Tohom, berada di posisi strategis sebagai salah satu pemain batu bara global, dengan Bumi Resources, Alamtri, dan Bayan yang ikut masuk dalam 10 besar produsen batu bara dunia.
“Fakta ini menegaskan bahwa Indonesia bukan hanya pengguna, tapi juga pemasok batu bara penting untuk pasar global. Konsumen harus dilibatkan dalam narasi energi ini, karena pada akhirnya merekalah yang membayar listrik setiap bulan,” kata Tohom.
Tohom Purba yang juga Pemimpin Redaksi Majalah Konsumen Listrik ini menekankan pentingnya edukasi publik mengenai perbedaan batu bara thermal dan kokas.
Batu bara thermal digunakan untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), sementara batu bara kokas menjadi bahan baku industri logam seperti baja.
“Pemahaman publik terhadap jenis batu bara dan penggunaannya sangat penting agar diskusi energi tidak berhenti pada kata ‘fosil’ atau ‘polusi’ saja, tapi juga pada struktur industri dan keterhubungannya dengan kehidupan sehari-hari,” jelasnya.
Menurut ALPERKLINAS, kebijakan energi nasional dan internasional harus menempatkan konsumen sebagai subjek yang dipertimbangkan, bukan sekadar objek.
“Kita tidak menolak energi bersih, tetapi harus rasional. Kalau transisi energi dipaksakan tanpa melihat kesiapan ekonomi dan teknologi, maka yang terjadi adalah kenaikan tarif listrik dan itu merugikan masyarakat,” pungkas Tohom.
[Redaktur: Mega Puspita]