Tohom yang juga Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Krisnadwipayana ini menyebutkan bahwa aspek hukum dan regulasi dalam transisi energi tidak boleh diabaikan.
Ia menilai masih banyak tumpang tindih peraturan yang bisa menghambat percepatan pembangunan infrastruktur EBT.
Baca Juga:
Bertarung Melawan Perubahan Iklim Global, ALPERKLINAS Puji Kerjasama Indonesia dan Inggris dalam Pengembangan Energi Bersih
“Harmonisasi hukum energi nasional sangat penting. Kita tidak bisa mengandalkan semangat politik saja tanpa payung hukum yang kokoh,” ucapnya.
Ia juga mengingatkan bahwa perlindungan konsumen harus tetap menjadi prioritas dalam proses transisi energi.
“Dalam proses ini, jangan sampai konsumen justru dibebani dengan tarif yang tidak adil. Negara harus hadir untuk memastikan bahwa harga listrik dari EBT tetap terjangkau,” katanya.
Baca Juga:
Jadi Pionir Pengembangan Ekosistem Hidrogen di Indonesia, ALPERKLINAS Apresiasi PLN yang Sudah Bangun 22 Green Hydrogen Plant di Seluruh Indonesia
Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyampaikan bahwa RUPTL 2025–2034 telah resmi ditandatangani dan akan menjadi dasar bagi arah kebijakan energi selama satu dekade ke depan.
Ia menegaskan bahwa target 60 persen porsi EBT merupakan komitmen nyata Indonesia dalam pengurangan emisi karbon, meskipun di tengah tantangan geopolitik global dan inkonsistensi negara-negara maju dalam implementasi Paris Agreement.
Salah satu langkah konkret yang diambil adalah keputusan untuk melakukan pensiun dini terhadap PLTU Cirebon I berkapasitas 650 megawatt (MW).