KonsumenListrik.WAHANANEWS.CO, Jakarta - Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 yang baru saja ditandatangani oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mendapat apresiasi dari Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS).
Dalam dokumen tersebut, porsi energi baru terbarukan (EBT) ditargetkan mencapai 60 persen, tidak termasuk pembangkit listrik berbasis gas.
Baca Juga:
Bertarung Melawan Perubahan Iklim Global, ALPERKLINAS Puji Kerjasama Indonesia dan Inggris dalam Pengembangan Energi Bersih
Ketua Umum ALPERKLINAS, KRT Tohom Purba, menyambut positif langkah pemerintah tersebut dan menilainya sebagai lompatan besar dalam sejarah perencanaan energi nasional.
“Penetapan porsi EBT sebesar 60 persen dalam RUPTL ini adalah bukti nyata bahwa pemerintah mulai mendengar tuntutan publik akan energi bersih yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Ini merupakan arah kebijakan yang strategis,” ujar Tohom dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (1/5/2025).
Menurut Tohom, penekanan terhadap EBT bukan hanya selaras dengan target pengurangan emisi karbon nasional, tetapi juga membuka peluang besar bagi investasi hijau dan penguatan kemandirian energi daerah.
Baca Juga:
Jadi Pionir Pengembangan Ekosistem Hidrogen di Indonesia, ALPERKLINAS Apresiasi PLN yang Sudah Bangun 22 Green Hydrogen Plant di Seluruh Indonesia
“EBT bukan hanya solusi lingkungan, tapi juga jawaban atas ketimpangan distribusi listrik yang masih dirasakan masyarakat di wilayah terpencil. Kita butuh lebih banyak pembangkit berbasis surya dan mikrohidro di luar Jawa,” katanya.
Ia juga menyoroti pentingnya pengawasan dan keterlibatan publik dalam implementasi RUPTL agar tidak sekadar menjadi dokumen formal.
“Kami akan mengawal agar RUPTL ini tidak mandek di atas kertas. Transparansi dalam pengadaan proyek dan partisipasi konsumen harus menjadi prinsip dasar. Jangan sampai 60 persen EBT hanya menjadi jargon tanpa realisasi yang terukur,” tegas Tohom.
Tohom yang juga Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Krisnadwipayana ini menyebutkan bahwa aspek hukum dan regulasi dalam transisi energi tidak boleh diabaikan.
Ia menilai masih banyak tumpang tindih peraturan yang bisa menghambat percepatan pembangunan infrastruktur EBT.
“Harmonisasi hukum energi nasional sangat penting. Kita tidak bisa mengandalkan semangat politik saja tanpa payung hukum yang kokoh,” ucapnya.
Ia juga mengingatkan bahwa perlindungan konsumen harus tetap menjadi prioritas dalam proses transisi energi.
“Dalam proses ini, jangan sampai konsumen justru dibebani dengan tarif yang tidak adil. Negara harus hadir untuk memastikan bahwa harga listrik dari EBT tetap terjangkau,” katanya.
Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyampaikan bahwa RUPTL 2025–2034 telah resmi ditandatangani dan akan menjadi dasar bagi arah kebijakan energi selama satu dekade ke depan.
Ia menegaskan bahwa target 60 persen porsi EBT merupakan komitmen nyata Indonesia dalam pengurangan emisi karbon, meskipun di tengah tantangan geopolitik global dan inkonsistensi negara-negara maju dalam implementasi Paris Agreement.
Salah satu langkah konkret yang diambil adalah keputusan untuk melakukan pensiun dini terhadap PLTU Cirebon I berkapasitas 650 megawatt (MW).
Pemerintah juga tengah menjajaki skema pendanaan dengan Asian Development Bank (ADB) untuk mendukung proses transisi ini, serta menyusun peta jalan untuk pensiun dini PLTU lainnya berdasarkan kesiapan dana dan teknologi.
[Redaktur: Mega Puspita]