Tohom yang juga Anggota Aliansi Konsumen ASEAN ini menambahkan bahwa negara-negara maju telah lebih dahulu mengintegrasikan sistem energi alternatif berbasis pengolahan sampah, dan Indonesia tidak boleh tertinggal.
Menurutnya, pemerintah perlu memastikan keterlibatan komunitas lokal, lembaga konsumen, dan pelaku industri agar proyek ini punya daya tahan jangka panjang dan tidak berhenti pada seremoni peresmian saja.
Baca Juga:
Dukung Iklim Investasi, PLN Cirebon Eksekusi Tambah Daya PT Tantra Fiber Industri
Tohom juga menyoroti nilai investasi yang mencapai Rp 91 triliun untuk proyek serupa di 33 daerah. Ia mendorong agar regulasi pengelolaan sampah menuju energi listrik dibuat lebih adaptif, akuntabel, dan tidak membebani konsumen akhir.
“Kalau pengelolaan ini dijalankan dengan tata kelola baik, masyarakat tidak hanya mendapat lingkungan yang bersih tetapi juga kepastian pasokan listrik dengan kualitas yang lebih baik,” paparnya.
Menurutnya, langkah pemerintah membangun fasilitas serupa di sejumlah kota seperti Tangerang, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya hingga Makassar merupakan strategi tepat untuk menyebar pusat energi secara merata dan mengurangi beban jaringan listrik nasional yang selama ini bertumpu pada beberapa pusat pembangkit besar.
Baca Juga:
Dukung Iklim Investasi, PLN Cirebon Eksekusi Tambah Daya PT Tantra Fiber Industri
Sebelumnya, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyebut bahwa pemerintah menargetkan pembangunan fasilitas pengolahan sampah menjadi listrik di 10 titik prioritas dari 34 kabupaten dan kota yang memiliki volume sampah mencapai 1.000 ton per hari.
Sementara CEO Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara, Rosan Roeslani, menyebut nilai investasi proyek Waste to Energy secara nasional diperkirakan mencapai Rp 91 triliun.
[Redaktur: Mega Puspita]