Menurutnya, PLN harus memastikan setiap tahapan seleksi dapat dipantau secara real time dan membuka kanal pengaduan publik jika ditemukan indikasi kecurangan.
“Rekrutmen PLN harus bisa menjadi contoh model seleksi BUMN yang berorientasi pada keadilan sosial. Kalau ada satu saja bocoran informasi yang diatur pihak tertentu, maka kepercayaan masyarakat akan runtuh,” kata Tohom.
Baca Juga:
Ada Gangguan Listrik? Ini Cara Lapor yang Cepat Lewat PLN Mobile
Ia juga meminta agar PLN tidak hanya berhenti pada jargon transparansi, tetapi menunjukkan indikator akuntabilitas yang dapat diakses publik.
Misalnya dengan mempublikasikan statistik seleksi, rasio kelulusan berdasarkan wilayah, hingga standar penilaian yang digunakan.
“Keterbukaan bukan hanya soal tidak menarik biaya. Keterbukaan juga soal akses informasi yang setara dan mekanisme kontrol sosial yang memungkinkan masyarakat mengawasi,” tambahnya.
Baca Juga:
Tak Hanya di Bendungan dan Atap, ALPERKLINAS Dorong Pembangunan PLTS di Hamparan Tanah Kosong
Tohom mengingatkan, pelayanan konsumen listrik di berbagai daerah masih dikeluhkan, mulai dari minimnya edukasi penggunaan listrik yang aman, infrastruktur yang belum memadai, atau gangguan teknis yang menyebabkan pemadaman yang tidak sesuai standar.
“Jika seluruh proses rekrutmen berlangsung secara transparan dan konsisten membangun budaya pelayanan yang berorientasi pada konsumen, maka yang tumbuh bukan hanya kepercayaan sesaat. PLN akan membangun modal sosial jangka panjang, sebuah loyalitas publik yang menjadi fondasi transformasi energi nasional yang berkeadilan,” pungkasnya.
[Redaktur: Mega Puspita]