Ia menilai Indonesia tetap harus memprioritaskan pengembangan energi terbarukan yang lebih bersih dan murah seperti surya dan angin.
Menurutnya, PLTSa harus ditempatkan secara proporsional sebagai solusi pengelolaan sampah perkotaan, bukan sebagai pembenaran untuk mempertahankan pola produksi sampah yang tinggi, terutama plastik sekali pakai.
Baca Juga:
Dukung Ekosistem Energi Bersih, PLN Siap Jadi Offtaker Utama Proyek PLTSa Seluruh Indonesia
“Jangan sampai kita justru menciptakan ketergantungan baru pada sampah sebagai bahan bakar. Itu kontraproduktif dengan semangat pengurangan sampah dan perlindungan lingkungan,” tegasnya.
Dalam perspektif konsumen listrik, Tohom juga menekankan aspek keterjangkauan dan keadilan. Ia menilai biaya pembangunan dan operasional PLTSa yang tinggi berpotensi membebani keuangan daerah dan pada akhirnya berdampak langsung kepada masyarakat.
Karena itu, pemerintah didorong untuk memastikan setiap proyek PLTSa benar-benar efisien, tidak mengorbankan anggaran layanan publik lain, serta selaras dengan komitmen penurunan emisi nasional.
Baca Juga:
Empat Kota Mulai Tender PLTSa, 24 Perusahaan Berebut Proyek Energi Sampah
“Transisi energi harus adil, ramah lingkungan, dan tidak meninggalkan masyarakat sebagai pihak yang menanggung risiko,” pungkasnya.
Sebelumnya, pemerintah menyatakan ambisi untuk mempercepat pengembangan fasilitas waste to energy melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2025 serta pendanaan proyek-proyek terkait, di tengah situasi darurat sampah nasional dan dorongan pencapaian target transisi energi.
[Redaktur: Mega Puspita]