Tohom menjelaskan bahwa persoalan sampah yang menumpuk di ratusan kota dan kabupaten tidak bisa lagi diselesaikan dengan pendekatan konvensional.
Dengan timbunan sampah nasional yang mencapai puluhan juta ton per tahun dan tingkat pengelolaan yang masih rendah, diperlukan terobosan kebijakan yang mampu menekan beban tempat pembuangan akhir (TPA), mengurangi pencemaran, sekaligus memberi nilai tambah bagi masyarakat.
Baca Juga:
Dukung Ekosistem Energi Bersih, PLN Siap Jadi Offtaker Utama Proyek PLTSa Seluruh Indonesia
Dalam konteks tersebut, Tohom memandang PLTSa sebagai salah satu opsi pengelolaan sampah yang patut dikawal secara kritis dan konstruktif.
Ia mengingatkan bahwa tanpa pengawasan ketat, proyek PLTSa justru berpotensi menimbulkan masalah lingkungan dan sosial baru di kemudian hari.
Tohom juga menyoroti pentingnya transparansi teknologi dan pengawasan emisi dalam setiap proyek PLTSa.
Baca Juga:
Empat Kota Mulai Tender PLTSa, 24 Perusahaan Berebut Proyek Energi Sampah
Ia menilai kekhawatiran masyarakat terkait dampak kesehatan, seperti munculnya bau menyengat atau gangguan pernapasan di sekitar fasilitas pengolahan sampah, harus dijawab dengan data ilmiah dan sistem pemantauan yang terbuka.
“Masyarakat berhak tahu teknologi apa yang dipakai, bagaimana standar emisinya, dan siapa yang bertanggung jawab jika terjadi dampak,” ujarnya.
Lebih jauh, Tohom mengingatkan agar pembangunan PLTSa tidak membelokkan arah transisi energi nasional.