Konsumenlistrik.com | Direktur Energi Primer PLN Hartanto Wibowo, menegaskan komitmen dari pemasok batu bara ini sangat dibutuhkan. Terutama di tengah harga batu bara yang kembali menanjak saat ini.
PT PLN (Persero) meminta pemasok batu bara untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik dalam negeri sesuai komitmennya.
Baca Juga:
Menteri ESDM: 117 Perusahaan Tambang Harus Segera Penuhi Kewajiban Setoran PNBP
Terlebih, harga batu bara kini masih tinggi. Dengan demikian, diharapkan krisis pasokan batu bara untuk pembangkit listrik dalam negeri tidak terulang kembali.
Hal ini tercermin dari Harga Batu Bara Acuan (HBA) yang kembali meningkat pada Februari 2022 menjadi US$ 188,4 per ton, naik US$ 29,9 per ton dari US$ 158,5 per ton pada Januari 2022.
"Kita harap komitmen pemasok batu bara untuk memenuhi DMO ke PLN sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ESDM," ungkap Hartanto dalam diskusi Indonesia Energy Outlook 2022 yang diselenggarakan Asosiasi Pemasok Energi dan Batu Bara Indonesia (Aspebindo), Kamis (17/02/2022).
Baca Juga:
Mendag Zulhas Batalkan Wajib Tunjukkan KTP Jadi Syarat Beli Minyakita
Dia menjelaskan, batu bara yang digunakan PLN yaitu dengan kandungan GAR 4.600. Bila mengacu pada harga DMO batu bara sesuai Keputusan Menteri ESDM, maka menurutnya harga batu bara di pasar sebesar US$ 114 per ton, namun memang untuk harga batu bara PLN dengan patokan maksimal US$ 70 per ton, maka batu bara 4.600 GAR berada pada kisaran harga US$ 46 per ton.
Perlu diketahui, harga patokan batu bara untuk kebutuhan pembangkit listrik dalam negeri (DMO) maksimal US$ 70 per ton untuk spesifikasi acuan pada kalori 6.322 kcal/kg GAR, total moisture 8%, total sulphur 0,8%, ash 15%, serta Free on Board (BOD) Vessel.
"Kalau beli batu bara 4.600 GAR, harga pasar US$ 114 per ton, harga PLN dipagu (maksimal) US$ 70 per ton, sehingga PLN beli pada harga US$ 46 per ton," ucapnya.
Dia menyebut, setiap vessel berisi 70 ribu ton, maka akan terdapat perbedaan pendapatan penjualan batu bara mencapai sekitar Rp 68 miliar.
Hal ini dikarenakan, bila mengacu pada harga pasar, pendapatan penjualan batu bara untuk setiap vessel mencapai sekitar Rp 115 miliar, sementara bila mengacu pada DMO batu bara yang dibeli PLN mencapai sekitar Rp 46 miliar.
"Selisihnya Rp 68 miliar pendapatan penjualan per satu vessel," ujarnya.
Meski demikian, pihaknya tetap berharap agar Aspebindo berpartisipasi aktif dalam menjaga ketahanan energi primer untuk kelistrikan, termasuk memenuhi kontrak dan DMO agar kebutuhan batu bara untuk pembangkitan tetap terpenuhi dan terjaga aman secara berkelanjutan.
"Kami juga berharap Aspebindo bersama-sama dengan PLN dan stakeholders lain berkolaborasi untuk membangun ekosistem bisnis yang sehat dalam rangka menjaga kedaulatan energi nasional," tuturnya.
Pihaknya juga berharap Aspebindo juga mengembangkan model bisnis dan inovasi untuk merespons perubahan lanskap sektor energi, seperti transisi energi, pengembangan pembangkit EBT, termasuk baterai dan penangkapan karbon (carbon capture), electrifying lifestyle, seperti kendaraan listrik, kompor listrik/induksi, co-firing PLTU, dan pengembangan teknologi digital.
"Ketahanan dan kedaulatan energi memerlukan orkestrasi berbagai pihak, baik dari regulator, BUMN, pelaku usaha, dan stakeholder lainnya," ucapnya.
Perlu diketahui, PLN memperkirakan butuh 115 juta sampai 125 juta ton batu bara untuk pembangkit listrik pada 2022 ini. Jumlah ini meningkat dibandingkan konsumsi batu bara pada 2021 sekitar 111 juta ton.
Hartanto mengatakan, kebutuhan batu bara dalam negeri, khususnya untuk sektor ketenagalistrikan memiliki tren meningkat seiring dengan pertumbuhan permintaan energi listrik masyarakat.
"Kebutuhan batu bara dalam negeri khususnya untuk sektor ketenagalistrikan memiliki tren meningkat seiring dengan pertumbuhan permintaan energi listrik," tuturnya.
Hingga 2030, PLN memperkirakan kebutuhan batu bara untuk pembangkit listrik akan terus meningkat dan mencapai 153 juta ton pada 2030. [tum]