Tohom juga menyoroti pentingnya akselerasi penerapan teknologi pengendali emisi, seperti carbon capture and storage (CCS) maupun flue gas desulfurization (FGD), pada PLTU yang masih dan akan dibangun.
“Kalau pemerintah bersikeras lanjutkan PLTU, maka jangan setengah hati. Lengkapi dengan teknologi pengendali emisi canggih. Jangan sampai rakyat dijadikan korban demi keuntungan jangka pendek,” imbuhnya.
Baca Juga:
DPD RI Tegaskan Dampak Lingkungan dari Tambang Nikel di Raja Ampat
Lebih lanjut, Tohom yang juga menjabat sebagai Ketua Umum PLN Watch ini mengungkapkan kekhawatirannya terhadap potensi pemborosan anggaran negara apabila proyek-proyek PLTU tidak memperhitungkan biaya eksternal akibat pencemaran lingkungan.
“Kita bicara soal hidden cost yang tidak tercatat di neraca PLN: biaya kesehatan masyarakat, kerusakan ekosistem, dan hilangnya produktivitas akibat polusi,” ungkapnya.
Sebagai informasi, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025–2034, akan ada penambahan total kapasitas pembangkit sebesar 69,5 GW.
Baca Juga:
Pemerintah Apresiasi Peluncuran Fasilitas LNG Bali, Targetkan Efisiensi dan Kemandirian Energi
Dari jumlah itu, 42,6 GW berasal dari energi baru terbarukan (EBT), seperti tenaga surya, angin, air, panas bumi, bioenergi, dan bahkan nuklir.
Sisanya berasal dari pembangkit berbasis fosil: 10,3 GW gas dan 6,3 GW batu bara.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jisman Hutajulu mengatakan bahwa mayoritas PLTU batu bara tersebut merupakan proyek yang sudah memasuki tahap konstruksi dan telah direncanakan dalam RUPTL sebelumnya.