KonsumenListrik.WAHANANEWS.CO - Rencana pemerintah untuk tetap menambah kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara hingga tahun 2034 menuai respons kritis dari Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS).
Melalui Ketua Umumnya, KRT Tohom Purba, ALPERKLINAS mendesak pemerintah agar secara serius meminimalkan dampak emisi yang ditimbulkan, baik terhadap masyarakat Indonesia maupun komunitas global.
Baca Juga:
Pemerintah Apresiasi Peluncuran Fasilitas LNG Bali, Targetkan Efisiensi dan Kemandirian Energi
“Tambahan kapasitas PLTU sebesar 6,3 GW yang tertuang dalam RUPTL PLN 2025–2034 adalah sebuah keputusan yang harus dikawal secara kritis. Kami tidak menolak pembangunan, tetapi kami mengingatkan agar pemerintah tidak melanggengkan praktik yang mencemari udara dan membahayakan kesehatan masyarakat,” tegas Tohom, Selasa (17/6/2025).
Menurut Tohom, meskipun pemerintah berdalih bahwa sebagian besar proyek PLTU tersebut merupakan kelanjutan dari perencanaan lama, namun tanpa pengawasan ketat terhadap aspek emisi, kebijakan ini bisa menjadi kontraproduktif terhadap komitmen iklim Indonesia di hadapan dunia internasional.
“Jangan hanya karena batu bara melimpah, lalu penggunaannya dibenarkan tanpa pertimbangan jangka panjang. Dampak partikulat dan karbon dari PLTU tidak mengenal batas administratif. Itu bisa mencemari udara lintas kota, bahkan lintas negara,” ujar Tohom, menanggapi pernyataan pejabat Kementerian ESDM yang menyebut bahwa batu bara bukan komoditas haram.
Baca Juga:
Talk Show Seluk Beluk Pertambangan Berwawasan Lingkungan, PTAR Tegaskan Good Mining Practice
ALPERKLINAS juga meminta agar rencana penambahan 16,6 GW pembangkit berbasis gas dan batu bara tidak menggerus porsi pengembangan energi baru terbarukan (EBT) yang justru telah didengungkan sebagai masa depan sektor kelistrikan nasional.
“Pemerintah harus menjamin bahwa target 76% EBT dalam RUPTL itu bukan sekadar angka pemanis. Kami akan menagih realisasinya. Rakyat tidak hanya butuh listrik, tetapi listrik yang bersih dan tidak mengorbankan kesehatan anak-anak mereka,” tandas Tohom.
Teknologi Pengendali Emisi
Tohom juga menyoroti pentingnya akselerasi penerapan teknologi pengendali emisi, seperti carbon capture and storage (CCS) maupun flue gas desulfurization (FGD), pada PLTU yang masih dan akan dibangun.
“Kalau pemerintah bersikeras lanjutkan PLTU, maka jangan setengah hati. Lengkapi dengan teknologi pengendali emisi canggih. Jangan sampai rakyat dijadikan korban demi keuntungan jangka pendek,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Tohom yang juga menjabat sebagai Ketua Umum PLN Watch ini mengungkapkan kekhawatirannya terhadap potensi pemborosan anggaran negara apabila proyek-proyek PLTU tidak memperhitungkan biaya eksternal akibat pencemaran lingkungan.
“Kita bicara soal hidden cost yang tidak tercatat di neraca PLN: biaya kesehatan masyarakat, kerusakan ekosistem, dan hilangnya produktivitas akibat polusi,” ungkapnya.
Sebagai informasi, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025–2034, akan ada penambahan total kapasitas pembangkit sebesar 69,5 GW.
Dari jumlah itu, 42,6 GW berasal dari energi baru terbarukan (EBT), seperti tenaga surya, angin, air, panas bumi, bioenergi, dan bahkan nuklir.
Sisanya berasal dari pembangkit berbasis fosil: 10,3 GW gas dan 6,3 GW batu bara.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jisman Hutajulu mengatakan bahwa mayoritas PLTU batu bara tersebut merupakan proyek yang sudah memasuki tahap konstruksi dan telah direncanakan dalam RUPTL sebelumnya.
[Redaktur: Mega Puspita]