“Bali adalah wajah Indonesia di mata dunia. Maka sistem kelistrikannya pun harus mencerminkan ketahanan, kemandirian, dan keandalan nasional. Jangan lagi bergantung pada kabel laut dan pembangkit-pembangkit BBM yang mahal dan tidak ramah lingkungan,” ujar Tohom.
Ia juga mempertanyakan mengapa hingga kini belum ada instruksi nasional untuk menetapkan cadangan minimum kelistrikan di wilayah wisata strategis.
Baca Juga:
Atasi Sampah lewat Program 'Zero Waste Warriors', ALPERKLINAS Apresiasi Peran PLN
“Jika negara bisa menetapkan cadangan beras nasional, mengapa tidak dengan cadangan listrik untuk daerah yang menopang pendapatan negara dari pariwisata?”
Sebagai langkah konkret, ALPERKLINAS meminta agar dibentuk satuan tugas bersama antara PLN, pemerintah daerah, dan Kementerian ESDM untuk mempercepat pembangunan pembangkit di Bali timur dan barat, serta mengintegrasikan kebijakan tersebut ke dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Tohom yang juga pengamat kebijakan publik menilai, penetapan Bali sebagai Obvitnas harus disertai alokasi anggaran negara yang memadai, bukan hanya seremonial.
Baca Juga:
Pasok Listrik untuk 2 Juta Pelanggan dengan Energi Bersih Tenaga Panas Bumi, ALPERKLINAS Apresiasi Kesiapan Pertamina Geothermal
“Ini soal keberlanjutan pelayanan publik. Investasi pada sistem kelistrikan di Bali adalah investasi pada reputasi bangsa,” katanya.
Ia menambahkan, pengamanan sistem kelistrikan seperti yang sedang dilakukan PLN melalui bimbingan teknis Sistem Manajemen Pengamanan (SMP) adalah langkah yang baik.
Namun itu hanya satu sisi dari persoalan. “Yang harus lebih dijamin adalah kontinuitas pasokan. Apa gunanya sistem pengamanan bila pasokan listriknya sendiri tidak aman dari potensi kolaps?” sindirnya.