Ia menyebutkan bahwa elektrifikasi pedalaman tidak bisa disamakan dengan wilayah perkotaan atau yang sudah memiliki jaringan jalan memadai.
“Kalau jalannya tidak ada, maka cara berpikirnya juga harus berbeda. Bangun pembangkit di tempat, libatkan teknologi yang adaptif, dan pastikan keberlanjutannya. Inilah esensi kebijakan berbasis realitas lapangan,” katanya.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Dorong Pemerintah Kejar 100 Persen Rasio Elektrifikasi dengan Perbesar Anggaran LISDES
Lebih jauh, Tohom menyebut kolaborasi Dinas ESDM Kaltara, Kementerian ESDM, dan PLN mencerminkan tata kelola energi yang berorientasi solusi, bukan sekadar mengejar target angka rasio elektrifikasi.
Ia mengingatkan, dari target 115 desa berlistrik pada 2025, capaian baru sekitar 24 desa harus dijadikan pemicu percepatan, bukan alasan untuk stagnasi.
“Ini menjadi penanda krusial arah kebijakan. Artinya, diperlukan keberanian anggaran, inovasi teknologi, dan konsistensi lintas pemerintahan agar tidak ada satu pun warga negara yang hidup dalam gelap,” tegasnya.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Apresiasi Swasta Ikut Andil Dukung Energi Listrik Terbarukan di Indonesia
ALPERKLINAS juga mendorong agar model kolaboratif seperti di Kaltara direplikasi oleh pemerintah daerah lain, terutama provinsi dengan karakter geografis serupa.
Menurut Tohom, pemerataan listrik akan berdampak langsung pada peningkatan kualitas hidup, pendidikan, layanan kesehatan, hingga penguatan ekonomi desa.
“Begitu listrik masuk, roda peradaban ikut bergerak. Negara tidak boleh setengah-setengah dalam urusan ini,” pungkasnya.