Konsumenlistrik.com | Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengatakan pemerintah terus mengupayakan agar aturan PLTS Atap dapat diimplementasikan di lapangan. Pasalnya, selain berdampak pada pemenuhan target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025, peran PLTS Atap sangat penting bagi industri.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tetap bersikeras agar pelaksanaan dari Peraturan Menteri ESDM No 26/2021 tentang PLTS Atap bisa jalan. Meskipun saat ini masih terdapat beberapa kendala dalam implementasinya.
Baca Juga:
Pegang Indikasi Kuota Awal Pasang, Kementerian ESDM dan PLN Antisipasi Masuknya Daya Listrik Intermiten dari PLTS Atap
"Ini di dorong dengan PLTS yang harganya kompetitif dan keinginan sejumlah industri untuk menghasilkan energi yang bersih sehingga nantinya produksinya menjadi bagian dari green product. Jadi ini match dari sisi kebutuhannya semua," kata Dadan dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia, Senin (9/5/2022).
Oleh karena itu, pemerintah bersama PT PLN terus melakukan diskusi agar implementasi aturan ini dapat dijalankan. Salah satunya dengan merevisi kembali aturan yang baru saja diterbitkan ini.
Adapun, kapasitas terpasang PLTS Atap pada 2025 ditargetkan dapat mencapai 3.600 Megawatt (MW) atau sekitar 3,6 Gigawatt (GW).
Baca Juga:
Pasang PLTS Atap Ada Sistem Kuota, Ini Tujuannya
Namun demikian, untuk mencapai target ini memang tidak mudah, pasalnya kapasitas terpasang PLTS Atap hingga sampai saat ini baru sebesar 54 MW dengan jumlah pelanggan sekitar 5300 yang tersebar di seluruh Indonesia.
"Sekarang kapasitas di angka 54 MW yang sudah ada meterannya eximnya dari PLN. Tapi sudah banyak nih yang sebenarnya masang tapi belum ada meterannya jadi belum bisa dihitung berapa tambahannya. Kemudian dari yang masang itu kira-kira angkanya 5300 an," kata Dadan.
Saat ini, kata Dadan, pihaknya bersama PLN terus melakukan diskusi agar implementasi aturan ini dapat dijalankan. Mengingat, penerapan PLTS atap berpotensi mengganggu bisnis penjualan listrik PLN.
Pasalnya, perusahaan setrum pelat merah ini masih mengalami kelebihan pasokan listrik atau oversupply. Sehingga hal tersebut turut menjadi perhatian pemerintah.
"Padahal Permen ini juga sudah disusun dengan baik. Melibatkan stakeholder tetapi kenyataannya isu oversupply semakin menguat," kata Dadan.
Apalagi, selama ini skema pembelian listrik PLN dari pihak swasta melalui kebijakan Take or Pay alias TOP. Artinya mau digunakan atau tidak digunakan, PLN harus tetap membayar sejumlah tagihan dari pembangkit Independent Power Producer (IPP) sesuai dengan kontrak yang disepakati.
"Tidak dipungkiri bahwa PLN ujungnya ke negara tetap harus membayar dari kontrak listrik yang sudah ada, mau dipakai atau tidak ini harus tetap dibayar. Ini angkanya cukup besar," ujarnya. [tum]