KonsumenListrik.WAHANANEWS.CO – Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS) menilai kebijakan pemerintah yang membatasi kuota pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) justru dapat menghambat percepatan transisi energi bersih nasional.
Menurut ALPERKLINAS, pembatasan kuota seharusnya tidak diterapkan secara ketat, mengingat kebutuhan energi hijau di sektor industri dan rumah tangga terus meningkat sejalan dengan komitmen Indonesia menuju net zero emission.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Dorong Perusahaan Mitra PLN Beri CSR ke Masyarakat dalam Bentuk Bantuan Kelistrikan
Ketua Umum ALPERKLINAS, KRT Tohom Purba, menegaskan bahwa pembatasan kuota PLTS tidak sejalan dengan semangat transisi energi yang inklusif.
Menurutnya, pemerintah perlu memfasilitasi kemudahan akses bagi masyarakat dan pelaku industri untuk berpartisipasi aktif dalam pemanfaatan energi surya.
“Pemerintah sebaiknya tidak membatasi kuota pemasangan PLTS. Justru sebaliknya, perlu membuka peluang yang lebih luas bagi masyarakat dan sektor industri untuk memanfaatkan energi matahari sebagai sumber listrik ramah lingkungan,” kata Tohom di Jakarta, Minggu (9/11/2025).
Baca Juga:
Transformasi Energi Batam, MARTABAT Prabowo–Gibran Apresiasi PLN Bangun PLTGU 120 MW
Tohom menambahkan, pembatasan kuota bisa menimbulkan kesenjangan dalam distribusi energi dan memperlambat investasi di bidang energi terbarukan.
Menurutnya, pemerintah seharusnya fokus pada pembangunan infrastruktur pendukung, peningkatan kualitas jaringan, serta penyesuaian tarif dan insentif bagi pengguna PLTS, bukan pada pembatasan jumlah pemasangan.
“Kalau pemerintah ingin mendorong green economy, maka arah kebijakan harus pro terhadap partisipasi publik dan dunia usaha. PLTS Atap adalah solusi cepat dan efisien untuk menekan emisi karbon sekaligus menghemat biaya listrik. Jangan sampai kebijakan kuota malah membuat masyarakat enggan berinvestasi di energi surya,” ujarnya.
Tohom yang juga Ketua Umum Persatuan Pengacara Perlindungan Konsumen Indonesia (PERAPKI) ini mengatakan bahwa dari sisi perlindungan konsumen, kebijakan kuota bisa menimbulkan ketidakadilan baru bagi warga dan pelaku industri yang sudah siap beralih ke energi bersih namun terkendala perizinan.
Ia menilai pemerintah perlu menata regulasi agar lebih berpihak pada kepentingan publik dan keberlanjutan lingkungan.
“Regulasi harus progresif, bukan restriktif. Pemerintah perlu menata ulang mekanisme kuota agar fleksibel, berbasis kebutuhan daerah, dan tidak menghambat inovasi di sektor energi hijau,” tutur Tohom menegaskan.
Menurutnya, Indonesia memiliki potensi energi surya yang besar dan dapat menjadi pemimpin di kawasan dalam transisi energi bersih. Namun potensi ini hanya bisa diwujudkan apabila kebijakan pemerintah selaras dengan visi pembangunan berkelanjutan.
Sebelumnya, Managing Director Xurya Daya Indonesia, Eka Himawan, juga menyoroti tantangan regulasi dalam pengembangan PLTS di Tanah Air.
Ia menyebut bahwa dukungan pemerintah terhadap investasi dan perluasan kapasitas PLTS Atap masih perlu diperkuat agar target 17,1 Gigawatt dalam RUPTL 2025-2034 dapat tercapai tepat waktu.
[Redaktur: Mega Puspita]