Konsumenlistrik.com | Eks menteri di masa pemerintahan Joko Widodo (2014-2021), Bambang Brodjonegoro, buka suara terkait kebijakan energi di tanah air.
Menurut Mantan Menteri Keuangan RI (periode 2014-2016) ini kebijakan energi harus diperbaiki dari hulu. Bila tidak, masalah ini akan berulang terus menerus.
Baca Juga:
PLN Pasok Energi Hijau pada Peringatan HUT ke-79 Pertambangan dan Energi
Bambang menjelaskan dalam menghadapi kenaikan harga minyak mentah dunia di tengah perang antara Rusia dan Ukraina, seharusnya membuat pemerintah untuk lebih mawas diri dalam memperbaiki tata kelola energi di tanah air.
Pasalnya sejak 2003 hingga saat ini, Indonesia telah menjadi negara net importir minyak. Sehingga tidak bisa selamanya selalu disokong APBN, jalan keluarnya adalah dengan memperbaiki sektor energi dari hulu hingga ke hilir.
"Kalau menghadapi kenaikan harga minyak seperti ini, yang terjadi akibat perang dan kita mengalami tambahan defisit APBN. Itu harus tidak hanya utak-atik APBN, namun juga ke hulunya, komposisi energi kita," jelas Bambang, Jumat (1/4/2022) mengutip dari CBNC Indonesia.
Baca Juga:
Kemenperin Dorong Pemanfaatan Hidrogen dalam Pengembangan Energi Terbarukan
Meskipun Indonesia juga merupakan salah satu eksportir minyak mentah, namun nyatanya negeri ini lebih banyak mengimpor bahan bakar minyak (BBM), yang membuat defisit APBN juga ikut bengkak.
Di tengah kenaikan harga komoditas yang membawa berkah tersendiri terhadap penerimaan negara. Tapi, beban subsidi dan nilai impornya juga meningkat.
Belum lagi, kata Bambang gas yang menjadi bahan baku untuk Liquefied Petroleum Gas (LPG) juga masih diimpor. "Sehingga itu menimbulkan tambahan tekanan lagi, dan kita harus mencari apakah iya kita harus terus-terusan pakai LPG untuk kebutuhan sehari-hari kita," tuturnya.
Selain itu, menurut Bambang PT PLN (Persero) juga diharapkan bisa mengurangi pembangkit diesel dalam menyalurkan kebutuhan listrik untuk masyarakat di dalam negeri.
"Mereka (PLN) sudah punya program mengurangi diesel dan lakukan segera. Lakukan langsung mengubahnya menjadi energi baru dan terbarukan," jelas Bambang,
"Menurut saya penyelesaiannya bukan hanya dengan mengutak-atik APBN, menetapkan defisit, dan sebagainya. Ini harus dimulai dari hulu, untuk konteks kebijakan (tata kelola) energinya," kata Bambang melanjutkan.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mulai mengkhawatirkan kenaikan harga minyak mentah dunia yang terus naik. Namun di satu sisi realisasi lifting minyak di tanah air terus turun.
Pemberian subsidi kepada barang seperti BBM ibarat pemerintah hanya membakar uang. Sebab tujuan dari subsidi adalah membantu masyarakat yang tidak mampu. Sementara orang yang punya kendaraan, selayaknya dikategorikan mampu.
Sri Mulyani menjelaskan, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pada Februari 2022 telah mengalami peningkatan, terutama didukung meningkatnya pendapatan sumber daya alam (SDA) dan badan layanan umum (BLU).
Tahun lalu realisasi pertumbuhan PNBP terkontraksi 59,2% atau hanya mencapai Rp 6,8 triliun, dan sampai dengan Februari tahun ini tumbuh 126,8% atau mencapai Rp 15,5 triliun. Jauh lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya.
Adapun PNBP SDA Migas tumbuh 126,8% atau telah mencapai 18,1% dari target APBN, karena kenaikan Indonesia Crude Price (ICP).
Rata-rata ICP di US$ 79,63 per barel, naik 57,7% jauh lebih dari APBN yang hanya US$ 63 per barel. Untuk rata-rata ICP pada Desember sampai Januari 2021 sebesar US 50,48 per barel. Sekarang sudah melonjak menjadi US$ 79,63 per barel.
"Jadi sudah kenaikan ICP dari US$ 50 per barel ke US$ 79,6 per barel," tutur Sri Mulyani.
Kendati demikian, Sri Mulyani khawatir, di tengah kenaikan harga minyak mentah dunia, realisasi lifting minyak di tanah air justru menunjukan tren yang menurun.
"Kita harus hati-hati, walaupun harga (minyak mentah) naik, lifting minyak kita mengalami penurunan, lifting minyak kita sampai Januari 2022 hanya 573.000 barel per hari, jauh di bawah target APBN yang sebesar 703.000 barel per hari," jelas Sri Mulyani.
"Ini sesuatu yang harus kita waspadai. Karena harga minyak meningkat, kita perlu impor," kata Sri Mulyani melanjutkan. [tum]