Ia mendorong perusahaan listrik pelat merah itu untuk lebih terbuka terhadap kolaborasi dengan komunitas mahasiswa, startup energi, dan kelompok riset kampus yang selama ini bergerak secara swadaya.
“PLN jangan hanya fokus pada bisnis listrik konvensional. Mereka perlu melihat anak-anak muda sebagai mitra strategis. Kalau PLN berani membuat regulasi khusus yang memfasilitasi youth involvement, maka transisi energi bisa lebih cepat sekaligus inklusif,” ujarnya.
Baca Juga:
Miris, Jutaan Lansia Indonesia Masih Bekerja di Usia Senja demi Bertahan Hidup
Menurut Tohom, peran pemerintah pun tak kalah penting. Ia menekankan urgensi regulasi nasional yang mengikat agar pelibatan generasi muda tidak sekadar wacana, melainkan menjadi bagian resmi dari kebijakan transisi energi.
“Kita butuh aturan, bukan sekadar program musiman. Pemerintah harus mengeluarkan roadmap resmi agar partisipasi anak muda benar-benar terlindungi dalam sistem,” jelasnya.
Salah satu langkah yang bisa ditempuh, menurut Tohom, adalah dengan memberikan insentif fiskal dan pembiayaan murah bagi proyek energi terbarukan yang digerakkan anak muda.
Baca Juga:
Kemarau Panjang, Petani Jagung di Gunung Sitember Dairi Resah
Ia mencontohkan komunitas mahasiswa yang membangun PLTS desa atau membuat inovasi energi biomassa di pelosok. Jika mereka difasilitasi dengan regulasi yang tepat, dampaknya bisa meluas hingga menggerakkan ekonomi daerah.
“Ini bukan hanya soal listrik hijau. Ini soal pemberdayaan, soal membuka lapangan kerja, dan soal membangun kedaulatan energi yang bertumpu pada kreativitas anak bangsa,” kata Tohom dengan nada serius.
Sebelumnya, Zagy Berian, pemuda Indonesia yang kini menjadi penasihat muda Sekjen PBB untuk perubahan iklim, juga menekankan pentingnya menyiapkan generasi baru dalam transisi energi.