WAHANANEWS.CO, Jakarta - Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS) menilai energi baru terbarukan (EBT) adalah kunci utama dalam menjaga ketahanan bumi menghadapi krisis iklim.
Organisasi ini mendesak pemerintah bersama PT PLN (Persero) untuk segera menyusun regulasi yang memungkinkan pelibatan anak muda sejak dini dalam gerakan energi terbarukan.
Baca Juga:
Miris, Jutaan Lansia Indonesia Masih Bekerja di Usia Senja demi Bertahan Hidup
Ketua Umum ALPERKLINAS, KRT Tohom Purba, menegaskan bahwa regenerasi SDM energi hijau merupakan faktor yang kerap diabaikan dalam strategi transisi energi nasional.
“Anak-anak muda harus diberi ruang, regulasi, dan insentif untuk terjun lebih cepat ke sektor energi terbarukan. Mereka tidak boleh hanya jadi penonton. Jika dibiarkan, kita akan kehilangan momentum emas dalam membangun ketahanan energi berbasis EBT,” ujarnya, Rabu (27/8/2025).
Ia menilai keterlibatan generasi muda bukan hanya soal menambah tenaga kerja baru, melainkan membentuk pola pikir baru yang lebih adaptif terhadap teknologi dan inovasi.
Baca Juga:
Kemarau Panjang, Petani Jagung di Gunung Sitember Dairi Resah
Menurut Tohom, kaum muda memiliki daya kreasi yang tinggi dan mampu menghadirkan terobosan di bidang energi bersih yang selama ini belum tersentuh.
“Transisi energi bukan hanya perkara teknologi dan modal. Ini tentang mindset baru. Anak muda memiliki keberanian untuk bereksperimen, berkolaborasi, dan menghubungkan isu energi dengan gaya hidup modern. Itulah nilai tambah mereka,” tegasnya.
Tohom yang juga Ketua Umum Pemerhati Perusahaan Listrik Negara (PLN Watch) ini menambahkan bahwa PLN harus mengambil peran sebagai katalis, bukan sekadar operator.
Ia mendorong perusahaan listrik pelat merah itu untuk lebih terbuka terhadap kolaborasi dengan komunitas mahasiswa, startup energi, dan kelompok riset kampus yang selama ini bergerak secara swadaya.
“PLN jangan hanya fokus pada bisnis listrik konvensional. Mereka perlu melihat anak-anak muda sebagai mitra strategis. Kalau PLN berani membuat regulasi khusus yang memfasilitasi youth involvement, maka transisi energi bisa lebih cepat sekaligus inklusif,” ujarnya.
Menurut Tohom, peran pemerintah pun tak kalah penting. Ia menekankan urgensi regulasi nasional yang mengikat agar pelibatan generasi muda tidak sekadar wacana, melainkan menjadi bagian resmi dari kebijakan transisi energi.
“Kita butuh aturan, bukan sekadar program musiman. Pemerintah harus mengeluarkan roadmap resmi agar partisipasi anak muda benar-benar terlindungi dalam sistem,” jelasnya.
Salah satu langkah yang bisa ditempuh, menurut Tohom, adalah dengan memberikan insentif fiskal dan pembiayaan murah bagi proyek energi terbarukan yang digerakkan anak muda.
Ia mencontohkan komunitas mahasiswa yang membangun PLTS desa atau membuat inovasi energi biomassa di pelosok. Jika mereka difasilitasi dengan regulasi yang tepat, dampaknya bisa meluas hingga menggerakkan ekonomi daerah.
“Ini bukan hanya soal listrik hijau. Ini soal pemberdayaan, soal membuka lapangan kerja, dan soal membangun kedaulatan energi yang bertumpu pada kreativitas anak bangsa,” kata Tohom dengan nada serius.
Sebelumnya, Zagy Berian, pemuda Indonesia yang kini menjadi penasihat muda Sekjen PBB untuk perubahan iklim, juga menekankan pentingnya menyiapkan generasi baru dalam transisi energi.
Menurutnya, tanpa kesiapan manusia, teknologi dan dana besar pun akan sia-sia.
“Gagasan, teknologi, dan dana ada. Tapi, kalau orangnya tidak siap, kita tidak akan bisa bertransformasi,” ujar Zagy.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]