KonsumenListrik.WAHANANEWS.CO - Dalam menghadapi gelombang ketidakpastian global yang mengancam stabilitas pasokan dan ketergantungan impor, Indonesia dinilai telah mengambil langkah strategis yang patut diapresiasi.
Hal ini disampaikan Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS), terkait komitmen PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) untuk mulai memproduksi komponen penting Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di dalam negeri.
Baca Juga:
Turut Gerakkan Ekonomi Lokal, ALPERKLINAS Apresiasi Langkah PLN Kerjasama dengan BUMDes Manfaatkan PLTA Sebagai Objek Wisata Edukatif Memorial
Inisiatif tersebut dinilai bukan hanya relevan secara ekonomi, tetapi juga mencerminkan kematangan visi dalam pengelolaan sumber daya energi nasional.
“Langkah Pertamina Geothermal yang ingin memproduksi sendiri komponen seperti heat exchangers sangat tepat di tengah situasi global yang tidak menentu. Selain merupakan substitusi impor, ini juga bentuk kedaulatan teknologi dan energi,” ungkap Ketua Umum Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS), KRT Tohom Purba.
Menurutnya, ketergantungan pada produk luar negeri, terutama untuk sektor strategis seperti energi, dapat berisiko tinggi bagi keberlanjutan pembangunan nasional.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Apresiasi Inovasi Kerjasama PLN dan Perusahaan Sawit Ubah Limbah Cair Kelapa Sawit Jadi Sumber EBT
Ia mengingatkan, pandemi dan ketegangan geopolitik dunia telah menunjukkan betapa rapuhnya rantai pasok global.
“Kita tidak boleh menunggu krisis berikutnya untuk belajar. Produksi dalam negeri adalah bentuk kesiapan kita menghadapi situasi terburuk,” ujarnya.
Tohom juga menggarisbawahi bahwa produksi lokal komponen PLTP akan mendorong multiplier effect di berbagai sektor industri nasional.
Selain menciptakan lapangan kerja, hal ini juga membuka peluang kolaborasi antara BUMN, industri manufaktur, dan institusi riset dalam negeri.
“Bayangkan jika komponen vital seperti heat exchanger tidak perlu lagi diimpor. Kita tidak hanya menghemat devisa, tapi juga memberi ruang inovasi bagi anak bangsa untuk terlibat aktif dalam teknologi energi bersih,” lanjutnya.
Lebih dari itu, ia menilai langkah ini juga sejalan dengan peningkatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang selama ini menjadi komitmen nasional dalam berbagai proyek strategis.
“TKDN adalah ukuran keberpihakan kita terhadap masa depan industri nasional,” ucap Tohom.
Sebagai negara dengan cadangan panas bumi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat, Indonesia, menurut Tohom, memiliki potensi luar biasa yang belum tergarap optimal.
Data menunjukkan, dari total potensi 24.000 MW panas bumi, yang telah dimanfaatkan baru sekitar 11 persen.
“Ini ironi sekaligus peluang besar. Kita punya kekayaan energi yang masih tertidur. Dengan keberanian dan strategi produksi nasional, potensi itu bisa diubah menjadi kekuatan,” jelasnya.
Tohom yang juga Pengurus Fisuel Internasional Kawasan Asia-Pasifik ini menambahkan, pendekatan Indonesia ini bisa menjadi contoh baik bagi negara berkembang lain dalam mengelola transisi energi secara mandiri dan berkelanjutan.
“Dalam banyak forum internasional, kita sering bicara soal keadilan energi. Langkah PGEO ini adalah implementasi nyata dari prinsip itu: memperkuat kemandirian nasional demi keadilan bagi konsumen,” tegasnya.
Menurutnya, dalam kerangka perlindungan konsumen, kemandirian produksi juga bisa menjaga stabilitas harga listrik di masa depan.
“Kalau kita masih impor, biaya produksi akan selalu terpengaruh oleh fluktuasi kurs dan harga global. Tapi kalau komponennya buatan sendiri, kita punya kendali penuh. Ini jelas melindungi konsumen,” ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Keuangan PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO), Yurizki Rio, menyatakan bahwa perusahaan tengah mendorong upaya lokalisasi komponen penting PLTP sebagai respons terhadap situasi global yang tidak menentu.
Dalam program Energy Corner CNBC Indonesia, ia menyebut bahwa komponen vital seperti heat exchangers sebenarnya tidak terlalu kompleks dan bisa diproduksi di dalam negeri.
“Kalau kita bisa manufacture ini, kita akan reduce our dependency on import on heat exchangers. Itu bisa saving a lot of time, a lot of cost,” ujar Yurizki.
Ia juga menyebutkan bahwa langkah ini berpotensi membuka ruang untuk insentif fiskal dari pemerintah dan memperkuat posisi industri energi bersih nasional dalam jangka panjang.
[Redaktur: Mega Puspita]