KonsumenListrik.WAHANANEWS.CO – Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS) menyoroti pentingnya percepatan pemerataan akses listrik di seluruh pelosok negeri.
Menurut organisasi ini, program Listrik Desa (Lisdes) merupakan instrumen strategis untuk mencapai target rasio elektrifikasi 100 persen, namun membutuhkan dukungan anggaran yang lebih besar agar tidak terhambat di tengah jalan.
Baca Juga:
Kebut Elektrifikasi dan EBT, PLN Kantongi Pendanaan US$ 581,5 Juta dari Bank Dunia
Ketua Umum ALPERKLINAS, KRT Tohom Purba, menilai pemerintah perlu memastikan program Lisdes harus berdampak nyata bagi masyarakat di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
“Selain sumber penerangan, listrik adalah simbol keadilan sosial. Kalau masih ada desa yang gelap, itu berarti negara belum sepenuhnya hadir di sana,” tegas Tohom dalam keterangan tertulisnya, Kamis (24/10/2025).
Ia menyebutkan bahwa masih ada ribuan desa dan dusun di Indonesia yang belum tersentuh aliran listrik. Padahal, terang listrik menjadi kunci kemajuan ekonomi, pendidikan, dan kualitas hidup masyarakat.
Baca Juga:
Kebut Elektrifikasi dan EBT, PLN Kantongi Pendanaan US$ 581,5 Juta dari Bank Dunia
“Ketika lampu menyala di rumah-rumah warga, yang hidup bukan hanya kabel dan kWh meter, tapi juga harapan. Anak-anak bisa belajar, ibu-ibu bisa berusaha, dan desa bisa berkembang,” ujarnya.
Tohom mengapresiasi program pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), seperti Bantuan Pasang Baru Listrik (BPBL) dan Lisdes, yang berhasil menerangi ribuan rumah tangga miskin di berbagai provinsi.
Namun, ia menegaskan bahwa langkah tersebut harus diikuti dengan komitmen anggaran yang lebih besar di tahun-tahun mendatang.
“Kalau targetnya 100 persen rasio elektrifikasi tahun 2030, maka pembiayaan Lisdes tidak boleh stagnan. Harus naik signifikan, karena tantangan geografis di daerah-daerah terpencil jauh lebih berat,” papar Tohom.
Menurutnya, pemerintah juga perlu menggandeng sektor swasta dan koperasi untuk memperluas model pembiayaan pembangunan energi terbarukan, seperti PLTMH dan PLTS komunal.
Pendekatan ini terbukti efektif di wilayah pegunungan dan kepulauan yang sulit dijangkau jaringan PLN.
Tohom yang juga Pendiri Koperasi Sonya Asa ini menambahkan, capaian rasio elektrifikasi 99,75 persen hingga akhir 2024 patut diapresiasi, namun angka tersebut belum menggambarkan pemerataan sejati.
Masih banyak desa yang memiliki listrik terbatas hanya di malam hari, bahkan bergantung pada sistem off-grid dengan kapasitas minim.
“Target 100 persen bukan hanya soal angka statistik. Ini tentang keadilan energi. Tentang memastikan tidak ada lagi anak Indonesia yang belajar di bawah lampu minyak,” tegasnya.
ALPERKLINAS juga meminta agar kementerian terkait melakukan evaluasi menyeluruh terhadap efektivitas penyaluran anggaran Lisdes dan BPBL, agar tepat sasaran dan berkelanjutan.
Tohom menekankan pentingnya transparansi serta pelibatan masyarakat dalam pengawasan agar setiap rupiah benar-benar menyala menjadi cahaya.
“Kalau program Lisdes ini dijalankan secara serius dan partisipatif, maka tidak mustahil Indonesia bisa menjadi negara dengan elektrifikasi 100 persen lebih cepat dari target. Karena di balik setiap bohlam yang menyala, ada martabat rakyat yang terangkat,” pungkasnya.
[Redaktur: Mega Puspita]