Ia menilai pembangunan infrastruktur energi hijau harus bersifat merata dan tidak hanya berpusat di Pulau Jawa.
“Toh, energi panas bumi ini tersebar luas di luar Jawa. Maka pendekatan desentralisasi proyek menjadi penting, agar manfaatnya juga dirasakan masyarakat lokal, baik dari segi pekerjaan maupun akses listrik berkelanjutan,” imbuhnya.
Baca Juga:
Selandia Baru Berkomitmen 25 Juta Dolar AS untuk Transisi Energi Hijau
Tohom yang juga Mantan Ketua FAKTA (Front Anti Kolusi Tanah Air) Sumatera Utara, mengingatkan bahwa proyek-proyek energi berskala besar sangat rawan dikapitalisasi oleh segelintir orang.
Ia mengungkapkan pentingnya pelibatan publik secara aktif serta pengawasan independen agar proyek ini tetap berpijak pada prinsip keberlanjutan, keterbukaan, dan kepentingan masyarakat luas.
Sebelumnya, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan bahwa proyek PLTP Muara Laboh Unit 2 merupakan bagian dari kerja sama strategis antara Indonesia dan Jepang melalui platform AZEC.
Baca Juga:
Gubernur Rusdy Mastura mendampingi Presiden Jokowi Meresmikan 4 Bandara
Proyek ini didukung oleh Sumitomo Corporation, Inpex, dan Supreme Energy melalui joint venture PT Supreme Energy Muara Laboh, dengan kapasitas mencapai 88 megawatt (MW).
AZEC disebut telah mengalokasikan dana sebesar US$35–40 miliar untuk mendukung berbagai proyek energi terbarukan di Asia, termasuk Indonesia.
Selain PLTP Muara Laboh, proyek lain yang turut masuk dalam skema pembiayaan ini antara lain PLTSa Legok Nangka, PLTP Sarula, dan proyek jaringan transmisi Jawa-Sumatera.