KonsumenListrik.WAHANANEWS.CO - Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS) menanggapi optimistis target ambisius pemerintah yang mencanangkan penambahan kapasitas pembangkit energi baru terbarukan (EBT) sebesar 42,6 Giga Watt (GW) dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034.
Menurut ALPERKLINAS, arah kebijakan ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu kekuatan energi hijau terbesar di kawasan, bahkan berpotensi menjadi "Big Green Energi" dunia.
Baca Juga:
Anthony Leong dan Arrmanatha Nasir Perkuat Struktur Komisaris PLN Indonesia Power
Ketua Umum ALPERKLINAS, KRT Tohom Purba, menyebut bahwa langkah strategis ini bukan sekadar upaya pemenuhan bauran energi, melainkan bagian dari transformasi besar yang harus dijaga kesinambungannya.
"Target 42,6 GW dari EBT berarti Indonesia siap memimpin transformasi energi hijau, dengan basis kekayaan alamnya sendiri. Dunia akan melihat kita sebagai pusat gravitasi baru dalam transisi energi,” ujar Tohom.
Dalam dokumen RUPTL 2025–2034, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merinci bahwa dari total 69,5 GW pembangkit listrik yang akan ditambah, sebanyak 42,6 GW di antaranya berasal dari sumber EBT.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Soroti Masalah Kuota dan SDM, Desak Pemerintah Bentuk Regulasi dan Lembaga Pelatihan PLTS Atap
Rinciannya meliputi energi surya sebesar 17,1 GW, tenaga air 11,7 GW, panas bumi 5,2 GW, dan angin 7,2 GW. Sisanya berasal dari bioenergi 900 MW, nuklir 500 MW, serta potensi arus laut 40 MW.
Tohom menyebutkan pentingnya transisi energi yang tidak hanya fokus pada pembangunan infrastruktur, tetapi juga harus mengutamakan perlindungan konsumen dan akses yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat.
"Konsumen harus menjadi bagian dari solusi, bukan hanya penonton. Energi hijau tidak boleh eksklusif hanya untuk kawasan industri atau kelas menengah ke atas. Harus ada keadilan energi,” ujarnya.
Ia juga mendorong agar gerakan energi surya atap menjadi kebijakan yang inklusif dan massif, dengan melibatkan masyarakat pedesaan dan pelaku UMKM.
Dalam pandangannya, desentralisasi energi adalah kunci.
"Energi surya atap, mikrohidro, dan bioenergi lokal seharusnya menjadi pilar pembangunan desa. Jangan biarkan transisi energi hanya berpusat di kota dan menara kantor," ucapnya.
Tohom yang juga Putra Desa Karing, Kabupaten Dairi ini, menekankan bahwa potensi energi bersih di desa-desa seperti tempat asalnya belum tergarap optimal.
Ia menyayangkan selama ini banyak wilayah kaya potensi energi yang justru masih bergantung pada sumber listrik konvensional.
Menurutnya, keberhasilan EBT bukan hanya soal investasi dan teknologi, tapi juga edukasi dan pelibatan publik.
“RUPTL ini adalah peluang emas. Tapi jangan jadi menara gading. Harus dieksekusi secara konkret dan inklusif. Kita tak boleh lagi menunggu bencana ekologis baru sadar pentingnya EBT,” tutup Tohom.
Sebelumnya, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, menjelaskan bahwa pembangunan EBT akan didampingi oleh pembangkit fosil sebesar 16,6 GW, yang terdiri dari 10,3 GW pembangkit gas dan 6,3 GW batubara.
Eniya juga mengungkapkan bahwa studi potensi arus laut di Indonesia Timur sedang berjalan, dengan harapan kapasitas awal 40 MW bisa masuk jaringan listrik nasional sekitar tahun 2030.
“Kita sudah mulai studi untuk melihat potensi arus laut. Itu kita cantumkan di RUPTL. Mungkin akan on-grid sekitar 2030,” ujar Eniya.
[Redaktur: Mega Puspita]