Konsumenlistrik.com | Di balik popularitas Non-Fungible Token (NFT) yang tengah meroket, ternyata ada proses yang membutuhkan energi besar.
Saking tingginya energi yang dibutuhkan, aset kripto ini dinilai berdampak buruk bagi lingkungan.
Baca Juga:
Startup Britishvolt Kembangkan Baterai untuk Mobil Sport Listrik Lotus
Lantas seberapa besar energi yang dibutuhkan?
Menyadur dari Kompas.com, Jumat (28/1/2022) NFT sendiri adalah sebuah token kriptografi yang mewakili suatu barang yang dianggap unik. Dengan memiliki aset NFT, pemilik seperti memiliki karya seni atau barang antik.
Sederhananya, NFT ibarat sertifikat digital atas karya tersebut dan bisa dijual oleh pemiliknya.
Baca Juga:
Setoran Sampai 16.5%, KPK Terima Dokumen Proyek dari Beberapa Kepala Dinas di Langkat
Ketika sebuah NFT dijual atau terdaftar di marketplace seperti OpenSea, NFT akan divalidasi untuk menunjukkan lokasi aset tersebut di sistem blockchain.
Proses itu disebut sebagai "pencatatan".
Maksud dari proses pencetakan ini dilakukan untuk membuat tanda terima digital di sistem blockchain, sesuai dengan blockchain yang digunakan.
Saat NFT dibeli, tanda terima akan dicatat dan disimpan di dompet digital pembeli, misalnya MetaMask.
Nah, dalam proses pencatatan tersebut dibutuhkan validasi informasi untuk menentukan di mana lokasi tanda terima dalam blockchain tersebut.
Proses validasi inilah yang melibatkan para penambang. Untuk membuat validasi tanda terima digital ini, para penambang harus memecahkan algoritma yang kompleks.
Algoritma tersebut digambarkan seperti soal matematika yang rumit dipecahkan. Para penambang akan berlomba menjadi orang pertama yang memvalidasi tanda terima digital tersebut untuk mendapat imbalan.
Dalam proses tersebut, semakin banyak penambang yang berlomba, maka semakin banyak energi yang dihabiskan.
Kenapa NFT butuh banyak energi?
Untuk mencatat NFT dalam blockchain, dibutuhkan energi yang cukup bervariasi bergantung di blockchain transaksi tersebut dilakukan.
Sebagian besar marketplace NFT menggunakan Ethereum sebagai blockchain mereka.
Dihimpun KompasTekno dari NFTexplained, Jumat (27/1/2022) Ethereum menggunakan algoritma konsesus yang membutuhkan banyak energi atau disebut proof of work.
Algoritma konsensus sendiri adalah mekanisme dalam sistem blockchain untuk menyetujui adanya tambahan data baru.
Dalam hal ini adalah tanda terima digital yang akan dicatat di dalam blockchain tersebut. Sementara proof of work adalah proses di mana para penambang bersaing satu sama lain untuk menjadi orang pertama yang dapat memvalidasi tanda terima digital di dalam blockchain.
Untuk menjadi menjadi orang pertama yang memverifikasi, penambang harus memecahkan algoritma rumit.
Untuk memecahkan algoritma rumit itu diperlukan perangkat atau komputer yang mumpuni, karena pemrosesan data harus dilakukan dengan cepat.
Inilah yang membutuhkan banyak energi untuk melakukan validasi terhadap tanda terima digital NFT di sebuah blockchain.
Ethereum membutuhkan sekitar 48 kWh untuk mencetak NFT menggunakan proses proof of work. Energi ini setara dengan kebutuhan daya rumah di Amerika Serikat (AS) selama 1,5 hari.
Analis memperkirakan dalam proses jual beli NFT di jaringan Ethereum, rata-rata mengonsumsi daya sekitar 75 KWh untuk satu transaksi transaksi secara keseluruhan.
Menurut NFTexplained, rata-rata rumah di semua negara bagian AS menghabiskan energi sekitar 30 kWh per hari. Dengan asumsi tersebut, diperkirakan NFT di jaringan Ethereum menggunakan 2,5 kali lebih banyak listrik dibanding rata-rata rumah di AS per harinya.
Dengan algoritma proof of work, para miner atau penambang kripto bersaing untuk melakukan validasi NFT dengan memperebutkan hak untuk membuat block dalam sistem blockchain di waktu bersamaan.
Mereka bersaing untuk mendapatkan komisi yang disebut "biaya gas" di mana besaran komisi tersebut bergantung pada jumlah pengguna yang bertransaksi di jaringan Ethereum.
Artinya, semakin banyak orang yang terlibat, semakin tinggi pula komisi yang didapatkan.
Namun, hanya ada satu penambang yang dapat memecahkan teka teki algoritma di blockchain. Mereka yang sukses memecah teka teki algoritma akan mendapatkan komisi, sementara penambang lainnya yang kalah cepat, tidak mendapat komisi sama sekali.
Penambang yang tidak beruntung, di mana jumlahnya lebih banyak, hanya berkontribusi terhadap pemborosan energi dalam jumlah yang besar.
Jadi pada dasarnya, proses pertukaran data yang melibatkan ribuan penambang untuk memverifikasi transaksi secara bersamaan inilah yang membutuhkan banyak energi.
Ada yang lebih hemat energi Ada pula NFT yang dicetak di blockchain lain dengan algoritma konsesus proof of stake yang membutuhkan lebih sedikit energi.
Proof of stake berbeda dengan proof of work. Jika dalam proses proof of work para penambang berebut untuk menjadi orang pertama yang memecahkan teka teki algoritma, dalam proses proof of stake hanya ada satu penambang yang sudah ditentukan untuk melakukan validasi.
Dengan kata lain, tidak ada penambang yang berkompetisi untuk melakukan validasi transaksi seperti proof of work sehingga dianggap lebih hemat energi. [tum]