KonsumenListrik.WAHANANEWS.CO, Jakarta - Rencana pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2017 guna mengurangi beban pajak dalam investasi pembangkit panas bumi mendapat dukungan penuh dari Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS).
Ketua Umum ALPERKLINAS, KRT Tohom Purba, menilai langkah tersebut sebagai angin segar dalam upaya mempercepat transisi menuju energi bersih yang lebih adil dan terjangkau bagi masyarakat.
Baca Juga:
Ahli Sebut Alat Elektronik Penyebab Tingginya Tagihan, ALPERKLINAS Imbau Konsumen Gunakan Peralatan Hemat Listrik
"Langkah Kementerian ESDM untuk meninjau ulang berbagai skema pajak yang membebani investasi panas bumi menunjukkan keberpihakan negara terhadap energi masa depan. Ini erat relevansinya dengan keadilan ekonomi dan ketahanan energi nasional," ujar Tohom saat diwawancarai, Senin (21/7/2025).
Menurut Tohom, selama ini pengembangan panas bumi di Indonesia berjalan lamban bukan karena minimnya potensi, melainkan karena iklim investasi yang belum ramah.
Pajak tubuh bumi, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), hingga Pajak Bea Masuk atas barang-barang komponen dalam negeri dinilai membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal.
Baca Juga:
Terus Tabuh Gendrang Optimisme dan Inovasi, ALPERKLINAS Apresiasi PLN atas Raihan Penghargaan IBEA 2025
“Ini ironi yang harus diselesaikan. Bagaimana mungkin kita mendorong produk dalam negeri tapi justru dibebani PPN, sementara barang impor malah bebas pajak? Itu bentuk ketimpangan regulasi yang kontraproduktif,” tegasnya.
Lebih lanjut, Tohom menyatakan bahwa penghapusan pajak tubuh bumi serta insentif fiskal dan non-fiskal lainnya akan meningkatkan Internal Rate of Return (IRR) proyek panas bumi yang selama ini stagnan di angka 8–9%.
Dengan iklim yang lebih kompetitif, target kenaikan IRR menjadi 11% akan lebih realistis dan menarik minat investasi.
"Jika investasi di sektor panas bumi meningkat, maka efek bergandanya juga akan dirasakan oleh konsumen. Energi bersih akan menjadi lebih murah, lebih stabil, dan lebih berkelanjutan. Ini adalah kemenangan tiga arah: untuk negara, investor, dan rakyat," tambah Tohom.
Tohom yang juga Mantan Ketua FAKTA (Front Anti Kolusi Tanah Air) Sumatera Utara ini mengungkapkan bahwa revisi PP Nomor 7 Tahun 2017 bukan sekadar soal perizinan atau teknis investasi semata.
Ia melihat kebijakan ini sebagai momentum strategis untuk membangun tata kelola energi bersih yang lebih inklusif .
"Keterbukaan, kepastian hukum, dan efisiensi dalam regulasi adalah keharusan mutlak agar investasi yang masuk benar-benar produktif," ujarnya.
Ia juga mendorong agar revisi peraturan pemerintah ini disertai evaluasi berkala serta pelibatan publik, khususnya dari komunitas konsumen energi dan masyarakat sipil.
"Konsumen harus dilibatkan sejak awal agar orientasi kebijakan tetap terjaga: bukan semata untuk korporasi, tetapi untuk kepentingan publik jangka panjang."
Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, mengatakan bahwa revisi PP tersebut mencakup sedikitnya 17 poin krusial yang tengah dikaji.
Di antaranya adalah penghapusan pajak tubuh bumi, penyederhanaan sistem lelang, pemanfaatan komponen dalam negeri, hingga insentif fiskal dan non-fiskal.
Ia berharap revisi ini dapat rampung pada tahun 2025 untuk memberikan kepastian hukum dan meningkatkan daya tarik investasi sektor panas bumi di Indonesia.
[Redaktur: Mega Puspita]