"Program dedieselisasi ini bisa menghemat 67 ribu kilo liter (kl) BBM. Selain itu, pengurangan emisi yang dicapai bisa mencapai 0,3 juta metrik ton CO2 dan meningkatkan 0,15 persen bauran energi," terangnya.
Seiring dengan perkembangan teknologi, Darmawan meyakini biaya produksi pembangkit EBT di Indonesia bakal semakin kompetitif dibandingkan dengan pembangkit fosil.
Baca Juga:
Menteri Nusron Paparkan Program 100 Hari Kerja di Raker Bersama Komisi II DPR
Hal ini bisa dilihat dari terus turunnya harga PLTS dan baterai. Pada tahun 2015 harga PLTS dipatok US$ 25 sen per kilo Watt hour (kWh). Namun saat ini, harga PLTS mampu ditekan berkisar US$ 5,8 sen per kWh, bahkan dengan tren saat ini dapat turun di bawah US$ 4 sen per kWh.
Sedangkan untuk baterai hari ini harganya mencapai US$ 13 sen per kWh yang dulunya sempat di angka US$ 50 sen per kWh. Artinya, ada penurunan biaya hampir 80%.
"Perkembangan teknologi dan inovasi mampu menekan mengurangi harga dari pembangkit EBT. Ini menjawab dilema antara energi bersih tapi mahal atau energi kotor tapi murah. Ini bisa dijawab, bahwa dalam kurun waktu energi bersih dan murah bisa dicapai," tegas Darmawan.
Baca Juga:
Kapolri Beri Materi Soal Korupsi Pembekalan Kabinet Prabowo di Akmil Magelang
Tak hanya konversi PLTD ke PLTS dan baterai, PLN juga telah bekerja sama dengan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk untuk melakukan konversi 33 PLTD menjadi berbasis gas, khususnya di wilayah terpencil.
"Beberapa PLTD yang tahun ini juga digarap bersama PGN mengganti PLTD menjadi pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU). Program gasifikasi ini menyasar daerah terpencil," ujar Darmawan.
Dalam Rencana Kerja dan Anggaran perusahaan (RKAP) PLN 2022, bauran energi dari pembangkit gas di akhir tahun direncanakan menjadi sebesar 18,76% dari 18,1% pada Februari 2022. Penambahan ini masuk dari program dedieselisasi PLTD yang saat ini masih mendominasi di wilayah Nusa Tenggara dengan porsi 65%, serta Maluku dan Papua dengan porsi 85,9%. [tum]