Konsumenlistrik.com | PT PLN (Persero) akan mengubah atau mengonversi 1.873 Mega Watt (MW) atau hampir 2 Giga Watt (GW) Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD)-nya.
Hal ini sebagai bentuk komitmen perseroan untuk mengurangi emisi karbon dan meningkatkan bauran energi baru terbarukan (EBT).
Baca Juga:
Menteri Nusron Paparkan Program 100 Hari Kerja di Raker Bersama Komisi II DPR
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, program dedieselisasi (pengurangan) PLTD ini menjadi program kunci dalam peta jalan yang telah disusun oleh Kementerian ESDM untuk menekan emisi gas rumah kaca (GRK) untuk mencapai target netral karbon atau Net Zero Emission 2060.
"Program dedieselisasi ini menjadi langkah kecil dari PLN, tetapi akan menjadi lompatan besar bagi pencapaian target pemerintah menuju NZE 2060," ujar Arifin saat memberikan sambutan dalam 'International Seminar: Renewable Energy Technology as Driver for Indonesia's De-Dieselization' sebagai rangkaian pertemuan Energy Transition Working Group (ETWG) dalam rangka Presidensi G20 di Yogyakarta, Rabu (23/03/2022) dilansir dari CNBC Indonesia.
Dia pun mengapresiasi tiga skema yang telah disiapkan PLN dalam melaksanakan program dedieselisasi. Terutama, skema integrasi sistem yang sebelumnya ditopang oleh PLTD ke dalam sistem kelistrikan utama PLN.
Baca Juga:
Kapolri Beri Materi Soal Korupsi Pembekalan Kabinet Prabowo di Akmil Magelang
"Saya punya mimpi, bagaimana Indonesia membangun transmisi untuk menghubungkan setiap pulau yang ada, sehingga listrik dapat menjadi pemersatu bangsa, tentunya dengan sumber EBT," imbuhnya.
Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pahala Nugraha Mansury juga menilai program dedieselisasi sangat penting untuk mewujudkan visi Indonesia menjadi kekuatan ekonomi terbesar kelima di dunia pada 2045. Untuk mencapai visi tersebut, Indonesia harus mampu meningkatkan suplai energi dengan tetap memenuhi target dekarbonisasi yang dicanangkan.
"Bagaimana kita harus tetap melanjutkan pertumbuhan secara berkelanjutan. Dedieselisasi akan menunjukkan bagaimana Indonesia mampu meningkatkan kapabiltas energi nasional secara berkelanjutan," tutur Pahala.
Di sisi lain, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menyebutkan di tengah kenaikan harga minyak dunia, transisi energi dari energi berbasis impor ke energi domestik menjadi langkah strategis yang harus segera dilakukan.
Selain dapat menekan penggunaan BBM, program ini juga bisa menghemat devisa negara. Program dedieselisasi pun menjadi langkah pertama dari PLN dalam proses mengonversi sekitar 5.200 PLTD yang saat ini masih beroperasi.
"PLN terus berkomitmen untuk melakukan transisi energi bersih di Tanah Air sebagai upaya menciptakan masa depan yang lebih baik. Selain itu, ini juga menjadi dukungan terhadap komitmen Indonesia sebagai tuan rumah KTT G20 untuk mewujudkan net zero emission pada 2060," kata Darmawan.
Saat ini PLN sedang membuka lelang pengerjaan mengganti PLTD menjadi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan baterai. Pada tahap 1, PLN akan mengonversi sampai sekitar 212 mega watt (MW) PLTD yang tersebar di 183 lokasi di Indonesia.
Nantinya, PLTD ini akan diganti menggunakan PLTS baseload, yang artinya ada tambahan baterai agar pembangkit bisa nyala 24 jam. PLN mendorong para peserta bisa meningkatkan inovasi sehingga tercipta baterai yang efisien dan punya keandalan operasi.
"Jadi teknologi mana yang paling andal dan efisien yang paling bagus. Jadi itu yang menang. Ini membangun inovasi," ujar Darmawan.
Dalam tahap dua, PLN akan mengonversi PLTD sekitar 287 MW dengan pembangkit EBT lainnya, sesuai dengan sumber daya alam yang menjadi unggulan di daerah tersebut dan keekonomian yang terbaik.
Darmawan juga menjelaskan proyek ini targetnya akan rampung pada 2026 mendatang.
"Program dedieselisasi ini bisa menghemat 67 ribu kilo liter (kl) BBM. Selain itu, pengurangan emisi yang dicapai bisa mencapai 0,3 juta metrik ton CO2 dan meningkatkan 0,15 persen bauran energi," terangnya.
Seiring dengan perkembangan teknologi, Darmawan meyakini biaya produksi pembangkit EBT di Indonesia bakal semakin kompetitif dibandingkan dengan pembangkit fosil.
Hal ini bisa dilihat dari terus turunnya harga PLTS dan baterai. Pada tahun 2015 harga PLTS dipatok US$ 25 sen per kilo Watt hour (kWh). Namun saat ini, harga PLTS mampu ditekan berkisar US$ 5,8 sen per kWh, bahkan dengan tren saat ini dapat turun di bawah US$ 4 sen per kWh.
Sedangkan untuk baterai hari ini harganya mencapai US$ 13 sen per kWh yang dulunya sempat di angka US$ 50 sen per kWh. Artinya, ada penurunan biaya hampir 80%.
"Perkembangan teknologi dan inovasi mampu menekan mengurangi harga dari pembangkit EBT. Ini menjawab dilema antara energi bersih tapi mahal atau energi kotor tapi murah. Ini bisa dijawab, bahwa dalam kurun waktu energi bersih dan murah bisa dicapai," tegas Darmawan.
Tak hanya konversi PLTD ke PLTS dan baterai, PLN juga telah bekerja sama dengan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk untuk melakukan konversi 33 PLTD menjadi berbasis gas, khususnya di wilayah terpencil.
"Beberapa PLTD yang tahun ini juga digarap bersama PGN mengganti PLTD menjadi pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU). Program gasifikasi ini menyasar daerah terpencil," ujar Darmawan.
Dalam Rencana Kerja dan Anggaran perusahaan (RKAP) PLN 2022, bauran energi dari pembangkit gas di akhir tahun direncanakan menjadi sebesar 18,76% dari 18,1% pada Februari 2022. Penambahan ini masuk dari program dedieselisasi PLTD yang saat ini masih mendominasi di wilayah Nusa Tenggara dengan porsi 65%, serta Maluku dan Papua dengan porsi 85,9%. [tum]