Misalnya saja masyarakat turut berpartisipasi dalam pemilahan sampah ataupun pemberdayaan tanaman energi yang akan diolah untuk bahan baku co-firing.
Co-firing ini juga sebagai langkah jangka pendek yang dilakukan PLN dalam mengurangi emisi karbon, sebab program co-firing tidak memerlukan investasi untuk pembangunan pembangkit baru dan hanya mengoptimalkan biaya operasional untuk pembelian biomassa.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Imbau Konsumen Percayakan Perbaikan dan Pemasangan Instalasi Listrik pada Ahlinya
“Program ini ditargetkan rata-rata menggunakan 10-20 persen dari kapasitas PLTU PLN untuk co-firing atau ekivalen sekitar 2.700 MW,” ujar Wiluyo.
Program co-firing ini terus dilakukan PLN sampai paling tidak 52 titik PLTU bisa menggunakan teknologi ini.
Untuk bisa memastikan pasokan co-firing ini, secara jangka panjang PLN juga melakukan kerja sama dengan Perhutani dan PTPN. Hingga 2025, PLN membutuhkan kurang lebih 10,2 juta ton biomassa untuk menjadi substitusi 10 persen kebutuhan batu bara di PLTU.
Baca Juga:
Energi Hijau Jadi Primadona, PLN Siapkan Solusi untuk Klien Raksasa Dunia
Melalui kerja sama dengan sesama BUMN ini, Perhutani akan memasok kebutuhan biomassa. Untuk pilot project, Perhutani akan memasok kebutuhan biomassa PLTU Pelabuhan Ratu sebesar 11.500 ton per tahun.
Sedangkan untuk PLTU Rembang, Perhutani akan memasok 14.300 ton per tahun serbuk kayu kaliandra dan gamal. Melalui skema bisnis yang sama, Perhutani akan membangun pabrik pengolahan di wilayah Rembang.
Sedangkan PTPN Group mengestimasikan dapat menyuplai 500 ribu ton tandan kosong segar kepada PLN dan angka tersebut dapat berkembang hingga 750 ribu ton tankos segar per tahun pada 2024 sesuai dengan Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) PTPN Group. [tum]