Menurutnya, hal ini patut diapresiasi, namun tetap harus diawasi agar tidak terjadi penyimpangan di lapangan.
“Kalau memang benar digunakan untuk menimbun halaman masjid atau pesantren, itu hal mulia. Tapi harus ada pengawasan yang ketat dan transparansi data, agar tidak ada celah penyelewengan yang mencoreng nama baik PLN,” paparnya.
Baca Juga:
Ditetapkan Sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional, MARTABAT Prabowo–Gibran Desak Pemerintah Tetapkan Ulos Produk Unggulan di Kawasan Otorita Danau Toba
Tohom yang juga Ketua Umum Lembaga Konsumen Ketenagalistrikan Indonesia (LKKI) menekankan bahwa konsumsi energi masyarakat tidak bisa dipisahkan dari isu keadilan distribusi manfaat proyek energi di daerah.
Ia mendorong agar PLN membuka lebih banyak ruang partisipasi masyarakat dalam aktivitas non-komersial seperti distribusi pasir tersebut.
“Kami mendorong agar model-model pemanfaatan material sisa pembangunan pembangkit listrik bisa dijadikan contoh di daerah lain, dengan catatan dilakukan secara terbuka, didampingi instansi lingkungan hidup, dan hasilnya bisa dirasakan langsung oleh masyarakat kecil,” tambahnya.
Baca Juga:
Permintaan Pasar atas Listrik Ramah Lingkungan Meningkat, ALPERKLINAS Apresiasi Program REC PLN
Lebih lanjut, Tohom mengingatkan bahwa pembangunan energi nasional harus dilandasi prinsip keberlanjutan yang tidak semata berorientasi pada output megawatt, tetapi juga pada kepuasan dan perlindungan konsumen listrik serta kelestarian lingkungan.
“Jika semua pihak jalan sendiri-sendiri, maka energi bersih akan jadi mimpi kosong. Tapi kalau PLN, Pemda, masyarakat, dan lembaga pengawas saling berkoordinasi dan transparan, maka Indonesia bisa menjadi teladan transisi energi di kawasan,” pungkas Tohom.
Sebelumnya, Assistant Manager Business Support PT PLN Nusantara Power Unit Pembangkit Nagan Raya, Muhammad Khoirul Harahap, menyampaikan bahwa penghentian pengangkutan pasir laut tersebut dilakukan sambil menunggu hasil kajian dari Dinas Lingkungan Hidup.