Fandi mengaku pihaknya kesulitan dalam melistriki desa-desa di Papua dan Papua Barat. Salah satunya karena kondisi geografis.
"Lokasi desa dengan aksesibilitas sulit di daerah 3T yang seringkali hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki, udara atau menggunakan perahu," ucap Fandi.
Baca Juga:
Gawat, Kabel PLN Hanya Satu Meter dari Tanah di Kecamatan Halongonan, Paluta: Ancaman bagi Masyarakat
Untuk menyiasatinya, PLN mengklaim telah melakukan terobosan dengan menyediakan teknologi yang lebih sederhana dalam proses pendistribusian alat, terutama di daerah terpencil.
"Seperti program PV SPEL (Stasiun Pengisian Energi Listrik berbasis PV module) dengan alat pengisian daya listrik atau tabung listrik berbasis energi surya yang saat ini sudah digunakan di 81 desa di Papua dan Papua Barat," jelas dia.
Mencoba beralih ke EBT
Baca Juga:
Takut Membahayakan, Warga Keluhkan Kabel Kendor-Tiang Miring Milik PLN di Taput
Selain itu, Fandi mengatakan moratorium pengadaan mesin diesel untuk pembangkit oleh pemerintah pada 2018-2019 juga menjadi alasan masih sedikit kampung yang menikmati listrik.
Pasalnya, PLN semula berencana akan menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) untuk melistriki lokasi tersebut. Namun, moratorium itu, PLN melakukan penyesuaian kebijakan kembali dan beralih ke Energi Baru Terbarukan (EBT).
"Progresnya pada tahun ini kami berencana akan membangun 48 PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) kapasitas antara 10-120 kWp untuk melistriki 71 desa dengan fokus menuntaskan desa yang telah dibangun jaringan isolated tegangan rendah," jelas Fandi.