“Listrik bukan hanya untuk menyalakan lampu. Ia adalah nyawa pendidikan, denyut UMKM, dan syarat investasi. Tanpa listrik, jangan bicara tentang percepatan pembangunan,” ujarnya.
Tohom yang juga Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Krisnadwipayana ini menegaskan bahwa negara harus hadir secara nyata di wilayah-wilayah yang selama ini terpinggirkan dari arus utama pembangunan nasional.
Baca Juga:
Cek Endra Nilai Asumsi Dasar Sektor ESDM Sudah Tepat dan Realistis
“Jika Presiden Prabowo menargetkan 70 persen desa di Pegunungan Bintang dialiri listrik pada 2029, maka seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat, daerah, maupun BUMN seperti PLN, harus bersinergi dengan penuh tanggung jawab, agar hak-hak konsumen listrik, terutama di wilayah 3T, tidak terabaikan,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya tata kelola proyek kelistrikan yang transparan dan akuntabel, serta melibatkan partisipasi aktif masyarakat setempat.
“Jangan ada proyek asal jadi. Ini wilayah rawan secara geografis, sosial, dan politik. Maka pembangunan listrik harus dirancang secara kontekstual, dengan memperhatikan kondisi alam, budaya lokal, dan keberlanjutan teknis,” jelas Tohom.
Baca Juga:
Prabowo Tegaskan Elektrifikasi Desa dan Subsidi Energi Jadi Prioritas Nasional
Sebelumnya, Bupati Pegunungan Bintang Spei Yan Bidana meminta Kementerian ESDM untuk segera mengambil alih dan merevitalisasi PLTM Oksibil agar bisa kembali beroperasi.
“Sudah 80 tahun Indonesia Merdeka, tapi Oksibil masih pakai listrik desa. Kami habiskan Rp 16 miliar setahun untuk BBM, tapi listrik hanya menyala 6-7 jam,” kata Spei.
Ia juga mengusulkan agar PLN diberi kewenangan penuh untuk mengelola kelistrikan di Oksibil dan sekitarnya, serta membangun layanan listrik desa di 277 kampung Pegubin sesuai program Presiden Prabowo.