“Kalau targetnya 100 persen rasio elektrifikasi tahun 2030, maka pembiayaan Lisdes tidak boleh stagnan. Harus naik signifikan, karena tantangan geografis di daerah-daerah terpencil jauh lebih berat,” papar Tohom.
Menurutnya, pemerintah juga perlu menggandeng sektor swasta dan koperasi untuk memperluas model pembiayaan pembangunan energi terbarukan, seperti PLTMH dan PLTS komunal.
Baca Juga:
Kebut Elektrifikasi dan EBT, PLN Kantongi Pendanaan US$ 581,5 Juta dari Bank Dunia
Pendekatan ini terbukti efektif di wilayah pegunungan dan kepulauan yang sulit dijangkau jaringan PLN.
Tohom yang juga Pendiri Koperasi Sonya Asa ini menambahkan, capaian rasio elektrifikasi 99,75 persen hingga akhir 2024 patut diapresiasi, namun angka tersebut belum menggambarkan pemerataan sejati.
Masih banyak desa yang memiliki listrik terbatas hanya di malam hari, bahkan bergantung pada sistem off-grid dengan kapasitas minim.
Baca Juga:
Kebut Elektrifikasi dan EBT, PLN Kantongi Pendanaan US$ 581,5 Juta dari Bank Dunia
“Target 100 persen bukan hanya soal angka statistik. Ini tentang keadilan energi. Tentang memastikan tidak ada lagi anak Indonesia yang belajar di bawah lampu minyak,” tegasnya.
ALPERKLINAS juga meminta agar kementerian terkait melakukan evaluasi menyeluruh terhadap efektivitas penyaluran anggaran Lisdes dan BPBL, agar tepat sasaran dan berkelanjutan.
Tohom menekankan pentingnya transparansi serta pelibatan masyarakat dalam pengawasan agar setiap rupiah benar-benar menyala menjadi cahaya.