Sementara ini, oleh beberapa petinggi Indonesia, Vietnam dianggap sukses menangani EBT dari PV Rooftop dan Solar Farm, namun cepatnya pertumbuhan keduanya ternyata membuat pemerintah Vietnam kerepotan. Rentetan persoalan masalah PV ini bermula ketika pemerintah Vietnam menerapkan kebijakan Feed in Tariff (FiT), dengan harga 9,5c USD/KWh. Harga ini sangat menarik bagi para pengembang. Hanya dalam waktu 6 - 12 bulan PV Rooftop dan Solar Farm tumbuh hingga 16 GW. Hal ini berbanding terbalik ketika pada tahun 2000 pemerintah menerapkan FIT pada pembangkit tenaga angin. Karena harganya kurang menarik, maka selama 8 tahun pembangkit jenis ini hanya tumbuh 300 MW.
Saat ini memang, komposisi bauran energi di Vietnam menjadi semakin hijau, EBT memiliki porsi 33% dengan didominasi oleh Solar Farm (11%) dan PV Rooftop (10%). Jauh lebih besar dibanding Indonesia yang komposisi EBT-nya baru sebesar 14%. Namun, kecepatan penambahan EBT itu tidak dibarengi dengan kecepatan pembangunan jaringan transmisi dan distribusi. Pembangkit EBT dibangun hanya dalam waktu kurang dari 1 tahun, sementara untuk membangun jaringan transmisi dan distribusi butuh waktu 3 hingga 5 tahun dengan biaya yang sangat mahal. Akibatnya pertumbuhan tersebut berdampak buruk pada sistem ketenagalistrikan Vietnam.
Baca Juga:
Pemkab Batang Apresiasi Kontribusi PT Bhimasena Power dalam Layanan Kesehatan dan Pembangunan
Kondisi EVN sama dengan PLN, yaitu over supply listrik. Hanya bedanya kalau PLN kelebihan listrik utamanya dengan bahan bakar fosil, EVN dengan EBT yang mengakibatkan sistem jaringan listrik Vietnam mengalami over supply. Tercatat kapasitas terpasang mencapai 79,5 GW, tapi beban puncaknya hanya 45,5 GW. Untuk itu EVN terpaksa melakukan moratorium. Sejak Januari 2021 hingga 2030 tidak akan ada lagi pembangunan baru PLTS Atap dan Solar Farm.
Selain itu, sejak Januari 2021 pula EVN tidak lagi membeli kelebihan daya dari PLTS Atap On-Grid. Curtailment atau pembatasan terpaksa dilakukan. Lantaran belum memiliki teknologi yang mumpuni, maka curtailment dilakukan secara manual dengan mendatangi rumah pelanggan satu per satu. Hal ini tentu selain menimbulkan ketidaknyamanan juga menimbulkan kerugian dan ketidakpastian investasi bagi pengembang. Di Indonesia curtailment dilakukan untuk pembangkit batu bara.
Jalan Keluar
Baca Juga:
Usut Tuntas Skandal Proyek PLTU 1 Kalbar, ALPERKLINAS: Jangan Sampai Pasokan Listrik ke Konsumen Terhambat
Pengalaman EVN di Vietnam semoga dapat menjadi pelajaran bagi pemerintah Indonesia, khususnya PLN. Semua pertumbuhan yang cepat, cepat, cepat dapat menimbulkan masalah karena perencanaan yang kurang matang. Kasus pembangunan PLTU 35 ribu MW yang dicanangkan oleh pemerintah beberapa tahun lalu, ternyata perencanaannya kurang matang serta tidak dilakukan evaluasi sebelum kontrak menyebabkan PLN over supply ketenagalistrikan dan membebani APBN lebih dari Rp 7 triliun per tahun.
Supaya kasus di Vietnam tidak terjadi di Indonesia, maka pengembangan EBT perlu dilakukan dengan penuh kehati-hatian apalagi jika menyangkut, misalnya sistem jual beli listrik Rooftop. Perlu diingat bahwa kehandalan EBT secara keamanan energi tampaknya belum baik dan investasi untuk pengembangan EBT juga masih sangat mahal. EBT, misalnya PV dan Bayu yang sangat sensitif terhadap cuaca. Untuk itu pembangkit fosil harus tetap dihidupkan untuk siaga menjaga kontinuitas supply ketenagalistrikan di tingkat konsumen.
Artinya keandalan PLTU dengan fosil masih tetap menjadi andalan untuk security dan economically energy. Akhir kata kebijakan jual beli PV Rooftop dan lain-lain harus dipertimbangkan masak-masak demi keuntungan bersama. Tetapi semangat menuju Energi Baru Terbarukan harus tetap membara secara cerdas. [tum/alp]