WahanaNews.co | PBB telah menginisiasi kesepakatan global untuk menanggulangi dampak dari perubahan iklim melalui United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Indonesia berperan aktif dalam kesepakatan global tersebut dengan meratifikasi UNFCCC dan protokol turunannya termasuk ratifikasi Paris Agreement dan membuat serangkaian kebijakan dan program dalam rangka adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim, yaitu Naskah Nationally Determined Contributions (NDC) 2016, NDC Roadmap 2019, Advanced NDC 2021, Indonesia Long Term Strategy (LTS) LCCC 2050, dan terakhir Indonesia Forest and Other Land Used (FOLU) Net Sink 2030.
Baca Juga:
Pemkab Batang Apresiasi Kontribusi PT Bhimasena Power dalam Layanan Kesehatan dan Pembangunan
Untuk mencapai penurunan target NDC sektor energi sebesar 14% sampai 2030, sektor energi memperkuat capaian target sebesar 357 juta ton CO2e berbasis BAU (Business as Usual). Saat ini capaian sektor energi baru 11,4% dan skenario capaian target NDC sebesar 290 juta ton CO2e yang menurun sebesar 67 juta ton CO2e pada 2030, sehingga perlu adanya penguatan strategi, dukungan finansial, dan upaya yang semakin keras dari semua pihak.
Sektor Energi Baru Terbarukan (EBT) yang saat ini ramai dibahas adalah EBT Tenaga Surya Atap (Rooftop) terkait dengan ekspor-impor listrik melalui jaringan transmisi dan distribusi milik dan dioperasikan oleh PT PLN (Persero) sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM No. 49 Tahun 2018 Tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PLN.
Sayang Permen ESDM tersebut dianulir dan diganti dengan Permen ESDM No. 6 Tahun 2021 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang IUPTL untuk Kepentingan Umum yang merugikan offtaker, yakni PLN. Sehingga peraturan baru ini ditolak karena perusahaan tidak mendapatkan imbalan yang jelas saat menerima listrik titipan konsumen. Persoalan ini yang menghambat pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Sebagai pembanding mari kita pelajari kebijakan terkait PLTS (Photovoltaic/PV) di Vietnam yang banyak dicontoh oleh Indonesia karena dianggap lebih sukses.
Baca Juga:
Usut Tuntas Skandal Proyek PLTU 1 Kalbar, ALPERKLINAS: Jangan Sampai Pasokan Listrik ke Konsumen Terhambat
Kesulitan Vietnam Mengelola PLTS
Vietnam dianggap berhasil mempercepat transisi energi dengan mengembangkan PV Rooftop maupun Solar Farm dalam skala besar di waktu singkat. Perkembangan pembangunan PLTS atau Photovoltaic atau PV maju pesat di Vietnam. Terbukti dalam kurun waktu 2019 - 2020, kapasitas PV Rooftop tumbuh hampir 8 GW dan Solar Farm juga tumbuh hampir 8 GW. Dampak dari pesatnya pembangunan PLTS ternyata menimbulkan persoalan bagi sistem ketenagalistrikan di Vietnam, baik konsumen maupun offtaker listrik nasional EVN . Sebagai single offtaker, EVN harus menanggung dampak buruknya kelebihan pasokan listrik seperti PT PLN (Persero).
Saya bersama dengan media dan LSM berkunjung ke Vietnam untuk melihat secara langsung apa yang sebenarnya terjadi, terkait dengan pengembangan PLTS Rooftop maupun Solar Farm. Selain itu kami juga bertemu dengan perusahaan listrik nasional Vietnam (EVN) yang juga merupakan single offtaker model PLN. Difasilitasi oleh Duta Besar RI di Vietnam, kami juga bertemu dengan United Nations Resident Coordinator (UNRC) dan YKVN - Law Firm, spesialis kebijakan pemerintah yang sangat menguasai isu energi dan menjadi penasihat hukum atau pengacara KBRI Vietnam di Hanoi. Delegasi juga berkunjung ke pabrik tekstil dan industri lain yang telah menggunakan PLTS Rooftop untuk memenuhi kebutuhan listriknya.