WahanaNews-Konsumenlistrik | Anak-anak Peter Bae kadang terpaksa mengerjakan tugas-tugas sekolah dalam kegelapan di rumah mereka di pinggiran Kota Honiara.
Peter Bae bekerja di bidang keuangan. Gajinya lumayan, di atas rata-rata penghasilan penduduk Kepulauan Solomon.
Baca Juga:
Tarif Listrik Triwulan IV Tidak Naik, PLN Jaga Pelayanan Listrik Tetap Andal
"Mereka jadi kesal," ujar Peter kepada ABC News. "Mereka menangis kalau sudah gelap dan listrik rumah kami tidak menyala." Anak-anak Peter sering kali harus belajar dalam kegelapan akibat tidak adanya listrik.
Peter tidak mampu berlangganan jaringan listrik utama negara. Sebaliknya, keluarga hanya mengandalkan panel surya untuk mengisi baterai dan kebutuhan daya lainnya.
Saat cuaca buruk--yang sering terjadi--pasokan listrik mereka tidak memadai dan terpaksa membayar ke tetangga untuk mengisi baterai ponsel.
Baca Juga:
Bebani Konsumen Listrik, YLKI Desak Pemerintah Batalkan Power Wheeling
"Kondisi seperti ini memengaruhi kegiatan belajar anak-anak kami, terutama menjelang ujian," ujarnya.
Melansir dari Kompas.com, Sabtu (15/4/2023) faktor penyebabnya Kepulauan Solomon saat ini tercatat sebagai negara dengan tarif listrik termahal di dunia, berada di atas negara Pasifik lainnya, Vanuatu dan Kepulauan Cook.
Penelitian yang dirilis pada Desember 2021 menganalisis 230 negara dan menemukan rata-rata biaya listrik di Kepulauan Solomon 1,03 dollar Australia (sekitar Rp 10.000) per KWh.
Listrik termurah di dunia ada di Libya dengan biaya 0,01 sen dollar per KWh. Sedangkan tarif listrik di Australia adalah 26 sen (sekitar Rp 2.600) per KWh.
Menurut Martin Sam, Dirut Solomon Power, sangat sulit menyebutkan penyebab tingginya harga listrik ini.
Dia menyebut faktor geografi negara itu, dengan populasi 700.000 yang tersebar di ratusan pulau, adalah salah satu penyebabnya. Faktor lainnya adalah sumber listrik.
"Sebanyak 98 persen pembangkit listrik berasal dari diesel," jelas Martin. "Itulah penyebab utama mahalnya harga listrik di negara ini."
Anggota parlemen Kepulauan Solomon, Peter Kenilorea Junior, menilai mahalnya tarif listrik telah menghambat pembangunan di negara itu.
Selain faktor biaya, hanya sekitar 15 hingga 20 persen penduduk Kepulauan Solomon yang memiliki akses ke energi listrik.
Bagi Anggota Parlemen Kepulauan Solomon, Peter Kenilorea, hal ini merupakan penghalang utama pertumbuhan ekonomi negara itu.
Peter Kenilorea, politisi oposisi dan pengkritik vokal Pemerintahan Sogavare, menyebut dampak tarif listrik yang tinggi ini sangat besar bagi masyarakat.
Dia mengatakan korupsi dan kurangnya kemauan politik telah melumpuhkan kebijakan energi di negara tersebut.
"Bila biaya energi dan listrik sangat tinggi, maka demikian pula dengan biaya hidup akan jadi tinggi," ujarnya.
"Jadi pengusaha sulit untuk berkembang, karena harga bahan bakar yang begitu tinggi. Energi adalah penggerak utama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Tanpa energi kita kembali ke Abad Kegelapan," tutur Peter Kenilorea.
Rp 90 juta sebulan untuk mesin es Direktur divisi energi Pemerintah Kepulauan Solomon John Korinihona menolak tuduhan korupsi atau kepentingan pribadi sebagai penyebab mahalnya tarif listrik.
Dia menyebut pemerintah telah berencana menurunkan tarif listrik untuk membantu mengurangi biaya hidup. Namun, pengalaman seorang pengusaha, Craig Day, menunjukkan betapa mahalnya tarif listrik di negara ini.
Craig menjalankan usaha pompa bensin dan akomodasi di ibu kota selama 50 tahun, dan terpaksa menutup usaha barunya karena biaya listrik yang tinggi.
"Kami terpaksa melepas AC pendingin dan menutup mesin produksi es," ujarnya. "Mesin-mesin itu saja, menelan biaya Rp 90 juta untuk menjalankan produksi es," kata Craig.
Pemerintah Solomon mengatakan, kini sedang mengusahakan solusi mengatasi mahalnya tarif listrik.
Sekitar 20 kilometer di sebelah tenggara Honiara, proyek pembangkit listrik tenaga air Sungai Tina yang telah lama ditunggu-tunggu semakin dekat tahap penyelesaian.
Studi kelayakan untuk proyek tersebut dimulai pada tahun 2009. Saat itu diharapkan listrik sudah terproduksi pada tahun 2017. Ternyata banyak terjadi penundaan proyek yang sebagian didanai oleh Pemerintah Australia dan LSM seperti Dana Iklim Hijau dan Bank Pembangunan Asia.
Pemerintah Kepulauan Solomon kini menjelaskan kepada ABC News bahwa PLTA tersebut baru akan berpoduksi pada tahun 2025 atau 2026. Saat PLTA aktif, kata Korinihona, 93 persen dari jaringan listrik Honiara, atau 82 persen dari semua pembangkit listrik, menggantikan ketergantungan pada bahan bakar solar.
"Ini merupakan pengurangan yang signifikan dalam konsumsi bahan bakar fosil tahunan Solomon Power dan pada gilirannya mengurangi tarif listrik," katanya.
Kembali ke Honiara, Peter hanya berharap perubahan yang diusulkan akan memungkinkan dia mengakses listrik yang lebih murah, sehingga dia dapat membantu anak-anaknya mencapai impian mereka. [tum/alp]