KonsumenListrik.WAHANANEWS.CO, Jakarta - Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS) memberikan apresiasi tinggi kepada PT PLN (Persero) atas pencapaiannya yang dinilai luar biasa sepanjang tahun buku 2024.
Meski menghadapi tekanan ekonomi global dan tantangan dalam sektor energi, perusahaan pelat merah ini berhasil mencatatkan pendapatan tertinggi sepanjang sejarah, yakni mencapai Rp545,28 triliun.
Baca Juga:
RI Targetkan 30 PLTN hingga 2060, ALPERKLINAS Soroti Transfer Teknologi dan Kompetensi SDM
Ketua Umum ALPERKLINAS, KRT Tohom Purba, menyebut capaian tersebut jadi bukti bahwa PLN tetap survive dalam memenuhi kebutuhan listrik nasional dengan pendekatan korporasi yang sehat dan inovatif.
"Rasio elektrifikasi PLN kini mencapai 98,45 persen, artinya hampir seluruh masyarakat Indonesia kini terakses listrik. Ini bukan pekerjaan mudah, apalagi ketika perusahaan publik lain justru tergelincir oleh fluktuasi global," kata Tohom, Minggu (13//7/2025).
Menurut Tohom, capaian pendapatan maksimal PLN seharusnya menjadi tolok ukur bagi BUMN lain dalam membangun kinerja berbasis pelayanan publik dan tata kelola keuangan yang akuntabel.
Baca Juga:
ITPLN hingga Tel-U Siapkan Beasiswa, Pendaftaran Ditutup 16 Juni
“Ketika perusahaan negara mampu bertahan, mencetak pendapatan konsisten, dan tetap mengaliri listrik ke pelosok, itu menunjukkan adanya keseimbangan antara profitabilitas dan keberpihakan sosial,” ujarnya.
Data dari laporan keuangan PLN yang telah diaudit menunjukkan, pendapatan usaha mengalami kenaikan signifikan selama tahun 2024.
Penjualan tenaga listrik naik 5,9 persen menjadi Rp353,18 triliun, sementara pendapatan dari penyambungan pelanggan meningkat menjadi Rp1,75 triliun dari sebelumnya Rp1,29 triliun.
Subsidi dari pemerintah pun turut meningkat menjadi Rp77,05 triliun, dan kompensasi mencapai Rp100,18 triliun. Semua ini mencerminkan keberhasilan PLN dalam menyusun strategi bisnis sekaligus menjaga aspek layanan publik.
Tohom menyebut bahwa keberhasilan PLN juga terlihat dari lonjakan laba usaha yang mencapai Rp60,62 triliun, naik 28 persen dibanding tahun sebelumnya.
Namun ia juga mencermati adanya penurunan laba bersih yang turun 19,51 persen menjadi Rp17,76 triliun.
Menurutnya, hal itu tidak mencerminkan penurunan kinerja, melainkan lebih kepada dinamika eksternal seperti rugi kurs dan beban lain-lain.
"Rugi kurs sebesar Rp6,78 triliun tidak dapat sepenuhnya dikendalikan karena dipengaruhi volatilitas nilai tukar. Namun justru di sinilah tantangan PLN untuk semakin memperkuat strategi hedging dan efisiensi beban usaha," jelas Tohom.
Tohom yang juga Pengamat PLN, Ketenagalistrikan dan Energi ini mengatakan bahwa perlu ada dukungan berkelanjutan dari pemerintah dalam bentuk kebijakan tarif yang berkeadilan, penguatan subsidi yang tepat sasaran, serta percepatan transformasi digital dan energi terbarukan.
Menurutnya, masa depan PLN sangat bergantung pada kemampuan perusahaan dalam berinovasi, membuka ruang kolaborasi, dan mengelola pembiayaan jangka panjang secara strategis.
“PLN tidak bisa hanya berorientasi pada listrik konvensional. Ke depan, mereka harus menjadi pionir dalam ekosistem energi bersih, smart grid, dan elektrifikasi kendaraan,” tutur Tohom.
Ia juga menegaskan bahwa keberhasilan PLN seharusnya diikuti dengan penguatan perlindungan konsumen, termasuk transparansi layanan dan kemudahan akses pengaduan.
Lebih jauh, Tohom menyerukan kepada seluruh stakeholder di sektor kelistrikan agar tidak hanya mengapresiasi pencapaian ini, tetapi juga memperkuat pengawasan dan partisipasi publik.
Sebelumnya, dalam berbagai forum, sejumlah pengamat menyoroti bahwa meskipun PLN mencetak laba usaha tinggi, kerentanan terhadap fluktuasi kurs masih menjadi pekerjaan rumah besar.
Pengamat energi dari INDEF, misalnya, menilai bahwa PLN perlu mempercepat diversifikasi portofolio energi dan mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil impor.
Namun, mereka juga mengakui bahwa di tengah tekanan global, PLN tergolong sukses menjaga kelangsungan layanan kelistrikan nasional.
[Redaktur: Mega Puspita]