Dari total produksi tersebut, PLN hanya menggunakan 75 ton untuk kebutuhan operasional pembangkit, sementara sisanya 128 ton hidrogen hijau bisa digunakan untuk sektor transportasi.
"Kebutuhan dari PLN untuk pendinginan pembangkit kami hanya 75 ton, artinya ada 128 ton green hydrogen yang bisa digunakan untuk sektor transportasi," ujar Darmawan pula.
Baca Juga:
Sambut HLN Ke-79, Donasi Insan PLN Terangi 3.725 Keluarga se-Indonesia
Sementara itu, berdasarkan perhitungan PLN, bahan bakar hidrogen hijau yang dihasilkan dari sisa operasional pembangkit sangat kompetitif jika dibandingkan dengan BBM. Perbandingannya, per 1 kilometer (km) mobil BBM membutuhkan biaya Rp1.300. Sedangkan mobil listrik Rp350-400 per km, dan mobil hidrogen hanya Rp276 per km.
"Biayanya hanya sekitar Rp276 saja per km. Coba bandingkan dengan biaya menggunakan BBM Rp1.300 per km. Ini yang jelas, kalau BBM ada sebagian yang diimpor. Kalau ini (hidrogen) semuanya produk dalam negeri," kata Darmawan.
HRS Senayan nantinya akan semakin strategis, karena di sana juga dibangun charger electric vehicle berbasis hidrogen yang memiliki fungsi sama dengan SPKLU. Selain itu, juga dibangun hydrogen center dan hydrogen gallery room sebagai pusat pelatihan dan pendidikan terkait hidrogen di Indonesia.
Baca Juga:
Tujuh Tahun Terakhir, Rasio Elektrifikasi PLN NTT Naik 34 Persen
[Redaktur: Mega Puspita]