Konsumenlistrik.WahanaNews.co | Hasil penelitian organisasi iklim dan energi independen nirlaba EMBER menyatakan pangsa pembangkit listrik tenaga surya dan angin Indonesia pada 2030 hanya 2 persen, terendah di antara 5 negara Asean.
Melansir dari CNNIndonesia.com, dari 10 negara Asean, lima di antaranya seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam atau disebut Asean 5, menyumbang 89 persen dari total pembangkit listrik di regional itu. Sebab itu, Asean 5 diharapkan bisa mewujudkan transisi energi bersih di Asia Tenggara.
Baca Juga:
Layanan SuperSUN PLN, Inovasi Listrik Bersih 24 Jam, Dukung Kemajuan Masyarakat Kepulauan di Sulawesi Selatan
Kendati, laporan itu menyatakan pada 2030, dokumen-dokumen rencana energi terbaru yang dikeluarkan oleh Asean 5 hanya akan meningkatkan pangsa tenaga surya dan angin hingga 11 persen dari total pasokan listrik kawasan.
Jika dirinci, Vietnam akan menghasilkan 18 persen listrik dari tenaga matahari dan angin secara total, Filipina 16,5 persen, dan Thailand 9,6 persen. Lalu, Malaysia dan Indonesia masing-masing akan mencapai 3,4 persen dan 2 persen.
"Ini tidak sejalan dengan jalur menuju emisi nol (net-zero) yang diusung IEA. Tren terbaru menunjukkan bahwa jika energi bersih tidak dapat memenuhi permintaan yang meningkat, maka bahan bakar fosil akan mengambil alih," tulis laporan EMBER, seperti dikutip pada Rabu (6/7).
Baca Juga:
Energi Surya Jadi Sumber Cahaya Bagi Kehidupan Masyarakat Desa Tepian
Di sisi lain, Indonesia sendiri berencana menambah 4,68 GW kapasitas tenaga surya dan 0,6 GW tenaga angin pada 2030. Hal itu tertulis dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030, yang disebut-sebut sebagai RUPTL terhijau.
Sementara itu, proporsi energi surya dan angin Indonesia hanya 0,2 persen dari total pembangkitan listrik pada 2021.
Proyeksi laju pertumbuhan permintaan listrik Indonesia adalah salah satu yang tertinggi yakni sebesar 4,9 persen per tahun. Dengan laju seperti ini, hanya 5 persen dari peningkatan permintaan akan bisa dipenuhi oleh matahari dan angin.
Analis Kelistrikan Asia EMBER Achmed Edianto mengatakan pemerintah Indonesia harus memaksimalkan energi matahari dan angin seperti yang dilakukan oleh China, India, dan sebagian besar negara-negara di dunia.
Ini karena harga bahan bakar fosil melambung tinggi. Sedangkan, harga energi surya dan angin tetap rendah dan menyediakan energi lokal yang terjangkau.
"Energi surya dan angin mulai berkembang di seluruh Asia Tenggara, tetapi target yang lebih agresif dan eksekusi yang tepat waktu diperlukan untuk memanfaatkan potensi yang besar. Pemerintah perlu meninjau ulang rencana energi 2030," kata Achmed.
Menurutnya, energi surya dan angin akan menjadi tulang punggung sistem kelistrikan dunia di masa depan. Namun, rencana kelistrikan di negara-negara Asean saat ini tidak mencerminkan hal tersebut.
Laporan Net Zero IEA menunjukkan 40 persen pasokan listrik global harus berasal dari surya dan angin pada 2030. Rencana pembangunan energi surya dan angin yang lebih ambisius di ASEAN diperlukan untuk menyelaraskan dengan tujuan 1,5 derajat. [tum]