Konsumenlistrik.WahanaNews.co | Rendahnya pasokan Batu Bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik PLN terjadi karena rendahnya efektivitas penugasan yang diberikan perusahaan batu bara lewat domestic price obligation (DMO).
Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (PLN) Darmawan Prasodjo blak-blakan soal pasokan batu bara kian seret memasuki semester II 2022.
Baca Juga:
Ratu Batu Bara Tan Paulin Diperiksa KPK di Kasus Rita Widyasari
Darmawan mengatakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah memberikan penugasan tambahan alokasi batu bara sebesar 31,8 juta metrik ton (MT) sepanjang Januari hingga Juli 2022.
Tambahan penugasan itu diberikan seiring dengan tren permintaan kelistrikan yang meningkat menyusul pemulihan pandemi.
"Namun, dari penugasan tersebut efektivitasnya sekitar 45 persen, yaitu 14,3 juta MT yang sudah berkontrak dari tambahan tersebut," ujar Darmawan dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VII DPR RI, Selasa (9/8).
Baca Juga:
KPK Ungkap Eks Bupati Kukar Dapat US$5 per Matrik Ton dari Perusahaan Batu Bara
Meski masih aman, kata dia, bila kondisi ini terus berlanjut tidak menutup kemungkinan krisis batu bara bisa menghantui PLN kembali.
"Kami melihat tren semakin menurun. Artinya, kalau kondisi ini dibiarkan berlarut-larut maka kondisi yang tadinya aman bisa bergeser jadi kondisi krisis kembali," kata Darmawan.
Lebih lanjut, ia menuturkan kebutuhan batu bara kian meningkat seiring dengan penambahan permintaan listrik. Darmawan memperkirakan proses penugasan batu bara meningkat dari 130 juta MT menjadi 135 juta ton pada tahun depan.
Kemudian, ia juga perkirakan kebutuhan akan meningkat lagi hingga 155 juta sampai dengan 160 juta MT pada 2030.
Adapun PLN mencatat kenaikan permintaan listrik mencapai 5,3 Terawatt hour (TWh) pada pertengahan tahun ini. Karenanya, perusahaan setrum itu membutuhkan tambahan pasokan batu bara mencapai 7,7 juta ton dari rencana kerja awal yang telah ditetapkan tahun ini.
"Dalam proses itu kami melakukan renegosiasi dengan independent power producer (IPP) dari yang tadinya kami harus hadapi oversupply kami berhasil mengendorkannya sehingga berhasil menurunkan produksi listrik dengan IPP sekaligus menurunkan take or pay kami," kata Darmawan.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan lebih banyak pengusaha melakukan ekspor dibanding memenuhi DMO karena disparitas harga yang tinggi.
Sementara, harga DMO hanya US$70 per ton untuk sektor kelistrikan. Sedangkan, harga DMO untuk sektor non kelistrikan US$90 per ton.
Selain itu, Arifin mengatakan sanksi berupa pembayaran dana kompensasi dengan tarif yang kecil juga membuat pengusaha lebih memilih ekspor. Menurutnya, keuntungan dari ekspor lebih besar dibanding biaya sanksi.
"Untuk itu, ada kecenderungan untuk menghindari kontrak dengan industri dalam negeri," kata Arifin. [tum]